Perjanjian Baku Dalam Upaya Perlindungan Konsumen Melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Naufal Aqso

Mahasiswa Fakultas Hukum (Universitas Pamulang)

Saat ini perkembangan dalam dunia usaha/bisnis semakin pesat dan maju dalam sejumlah transaksi yang semakin melambung tinggi dan besar salah satunya pada bisnis digital. Untuk menghadapi perubahan yang signifikan tersebut, maka perlunya sebuah perjanjian yang efektif dan efisien untuk sejumlah transaksi pada pelaku usaha. Oleh karena itu, munculah sebuah jenis perjanjian yang disebut dengan perjanjian baku atau disebut dengan standard contract yang tentunya sangat diharapkan mampu untuk mengakomodasi dari kebutuhan tersebut.

Namun, dalam pelaksanaan perjanjian baku tersebut antara pelaku usaha sebagai kreditur dan konsumen sebagai debitur, pelaku usaha sering kali memiliki posisi yang dominan atau lebih menguntungkan karena formulasi dari klausul perjanjian baku tersebut telah terlebih dahulu ditetapkan oleh pelaku usaha tanpa melibatkan peran konsumen dalam proses pembuatan perjanjian tersebut. Perjanjian baku merupakan perjanjian yang lebih menguntungkan salah satu pihak.

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipatuhi oleh konsumen. Perjanjian baku biasanya digunakan dalam perjanjian kredit nasabah dan bank, asuransi dan lainnya yang mengakibatkan perjanjian baku tersebut kedudukannya tidak seimbang antara debitur dan kreditur.

Berdasarkan hal di atas, maka perlunya suatu perlindungan hukum yang mampu menjamin kepentingan konsumen terhadap hubungan kontraktual yang sedang berlangsung serta dapat melindungi konsumen dari perilaku sewenang-wenang dari pelaku usaha.

Salah satu yang mengatur hukum perjanjian tertuang dalam ketentuan BAB III KUHPerdata Pasal 1313 yang menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana sau orang atau lebih yang mengikatkan dirinya dengan satu orang lain atau lebih. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang tertuang dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata yaitu adanya perbuatan, terdapat perikatan antara dua pihak/lebih dan perbuatan tersebut dilakukan oleh dua pihak atau lebih.

 

Perjanjian baku bersifat uniform, karena memiliki keuntungan bahwa seluruh konsumen yang terikat dalam perjanjian akan mempunyai syarat-syarat yang sama. Syarat sah dalam perjanjian meliputi :

  1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
  3. Suatu pokok persoalan tertentu
  4. Suatu sebab yang halal

Dari keempat syarat tersebut, perlu adanya perhatian khusus dari penjanjian baku, yaitu:

  1. Adanya penyalahgunaan keadaan oleh pihak dominan yang bertentangan dengan syarat klaus yang halal
  2. Adanya unsur pengaruh yang tidak pantas yang bertentangan syarat klaus yang halal
  3. Adanya ketidakjelasan atau keterpaksaan yang diderita salah satu pihak sehingga bertentangan dengan syarat kesepakatan antara para pihak.

Terlepas dari berbagai pro-kontra yang timbul terhadap pelaksanaan perjanjian baku, para sarjana hukum memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam menentukan keabsahan perjanjian tersebut. Disamping memperhatikan hal-hal yang diatur dalam KUHPerdata,perjanjian baku juga harus menaati ketetapan-ketetapan yang termuat dalam hukum perlindungan konsumen. Namun, penggunaan perjanjian baku masih memiliki kekurangan karena penerapannya yang kerap tidak mengakomodasi asas-asas dalam perjanjian terutama asas kedudukan yang seimbang bagi para pihak.

Meskipun telah diatur sedemikian rupa di dalam Pasal 18 Ayat (1) UU PK, pelanggaran terhadap pencantuman klausul tertentu di dalam perjanjian baku masih menjadi pokok permasalahan pada beberapa sengketa yang melibatkan pelaku usaha dan konsumen hingga pada Tahun 2022 Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen).

Berdasarkan hal di atas, maka perlunya dilakukan retrospeksi secara terus menerus terhadap ketentuan Pasal 18 Ayat (1) terutama pada pesatnya perkembangan dunia usaha/bisnis dalam bisnis digital.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *