Putri Amelia
Mahasiswa Fakultas Hukum (Universitas Pamulang)
Kebijakan tax amnesty tahun 2016 menjadi salah satu awal untuk melakukan penegakan hukum secara lebih adil dan merata dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan lanjutan dalam rangka reformasi perpajakan. Pada tanggal 8 Mei 2017, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak juga mengeluarkan berbagai kebijakan teknis dalam rangka melaksanakan arah kebijakan perpajakan pada tahun 2017 antara lain:
- Meningkatkan pelayanan dan kemudahan pembayaran dan pelaporan pajak seperti melalui e-filing, e-payment, dan e-materai;
- Meningkatkan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak seperti melalui call center, website, mobile tax unit, dan kampanye ´bangga bayar pajakμ serta memasukkan perpajakan dalam kurikulum pendidikan nasional;
- Meningkatkan ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan melalui pengawasan yang lebih optimal, penggalian potensi berbasis sektoral, optimalisasi basis data perpajakan hasil tax amnesty, memanfaatkan data pihak ketiga dan pengawasan kawasan berikat dan kawasan bebas;
- Meningkatkan efektivitas penegakan hukum melalui peningkatan SDM penegakan hukum dan kerja sama kelembagaan dengan penegak hukum lain;
- Menindaklanjuti hasil program tax amnesty tahun 2016-2017; dan
- Meningkatkan kapasitas aparatur dan kelembagaan pajak.
Program ini telah berakhir pada tanggal 31 Maret 2017 lalu. Sebagaimana poin pertama tujuan dilaksanakannya program tax amnesty yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016, selama periode pelaksanaan, Direktorat Jenderal Pajak telah menerima deklarasi harta dari wajib pajak sebesar Rp4.884.252.000.000.000,- dari jumlah tersebut sebesar 75% merupakan deklarasi harta dalam negeri. Sedangkan deklarasi harta luar negeri, selama periode program, Direktorat Jenderal Pajak hanya mencatat sebesar Rp147 triliun atau kurang dari 15% dari target yang ditetapkan pemerintah. Rendahnya repatriasi ini merupakan salah satu kegagalan program tax amnesty tahun 2016 dalam mewujudkan percepatan pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta.
Dalam sistem self assessment, wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar dan melaporkan jumlah pajak yang terutang. Minimnya pengawasan membuka peluang bagi wajib pajak untuk tidak patuh terhadap peraturan perpajakan dengan melakukan penghindaran pajak (tax evasion). Penghindaran pajak dilakukan dengan tidak melaporkan sebagian atau seluruh kewajiban perpajakannya sehingga hal ini dapat menimbulkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kebijakan tax amnesty muncul sebagai alat untuk mengenakan kembali pajak yang belum dibayar dari kegiatan ekonomi bawah tanah ataupun pelaporan pajak yang tidak jujur.
Pemerintah Indonesia telah melaksanakan empat kali kebijakan Tax Amnesty. Pada pelaksanaan kebijakan tax amnesty pertama kali tahun 1964, tingkat partisipasi masyarakat dalam program ini sangat rendah. Hal yang sama terjadi pada pelaksanaan Kebijakan tax amnesty tahun 1984.
Kegagalan pelaksanaan Tax Amnesty pada tahun 1964 dan 1984 di Indonesia terjadi karena kurangnya perhatian Pemerintah terhadap program ini. Begitu juga minimnya partisipasi UMKM dalam program Tax Amnesty Tahun 2016 terjadi karena kurangnya perhatian Pemerintah.
Untuk mendukung program ini seperti halnya dapat dilakukan dengan sosialisasi program secara menyeluruh. Namun demikian, Pemerintah harus membangun kepercayaan publik kepada aparatur pemerintahan terlebih dahulu. Kepercayaan masyarakat sebagai dasar harus diikuti dengan sosialisasi secara menyeluruh dan intensif agar masyarakat memiliki pemahaman yang baik atas pelaksanaan program. Peningkatan kepatuhan wajib pajak, perluasan basis data perpajakan dan Pemberlakuan sanksi juga penting dalam langkah penegakkan hukum dan dapat meningkatkan penerimaan negara dalam jangka yang panjang.