PENDANGKALAN PRINSIP KEADILAN PEMILU Kritik atas Putusan Nomor 7/G/PILKADA/2024.PT.TUN.MND

Dr. Bachtiar

Pengajar Hukum Tata Negara FH UNPAM – Pemerhati Kepemiluan

Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Manado Nomor 7/G/PILKADA/2024.PT.TUN.MDO yang memutus gugatan terkait penggantian pejabat oleh Bupati Minahasa Utara selama masa larangan penggantian pejabat dalam tahapan pemilihan kepala daerah layak menjadi perhatian kritis dari perspektif hukum pemilu dan prinsip keadilan pemilu. Putusan ini menolak gugatan pemohin dengan alasan tidak memiliki legal standing, kendati secara substansi terdapat dugaan kuat terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada.

Namun demikian, ratio decidendi dan konstruksi pertimbangan hukum yang dibangun oleh Majelis Hakim tetap relevan untuk dikritisi secara mendalam. Hal ini penting karena pertimbangan hukum dalam putusan ini berpotensi menyimpangi tujuan utama dari norma larangan penggantian pejabat, yaitu untuk menjaga netralitas birokrasi, mencegah penyalahgunaan kewenangan oleh petahana, serta menjamin fairness dalam kontestasi elektoral. Norma tersebut hadir bukan sekadar untuk menjamin kepatuhan prosedural, melainkan untuk menegakkan prinsip-prinsip demokrasi elektoral yang substantif.

Dalam konteks ini, sikap pengadilan yang terlalu menekankan aspek formil (legal standing) tanpa menggali substansi pelanggaran dapat dianggap sebagai bentuk formalisme yudisial yang melemahkan upaya perlindungan atas integritas pemilu. Dalam rezim pemilu yang demokratis, putusan-putusan peradilan tata usaha negara semestinya tidak hanya bersandar pada tafsir sempit atas locus dan interest, tetapi juga berpihak pada tujuan normatif perlindungan hak politik kolektif warga negara. Oleh karena itu, putusan ini bukan hanya soal menang atau kalah dalam persidangan, tetapi mencerminkan dinamika peradilan dalam merespon isu strategis demokrasi lokal.

Kekeliruan dalam Penerapan Asas Presumption Iustae causa

PT.TUN Manado menyatakan bahwa tindakan penggantian pejabat oleh Bupati Minahasa Utara adalah sah karena belum adanya pembatalan terhadap keputusan tersebut, menunjukkan kekeliruan mendasar dalam memahami cakupan dan batas keberlakuan asas presumption iustae causa. Asas ini yang menyatakan bahwa setiap keputusan administrasi negara dianggap sah dan mengikat selama belum dibatalkan oleh lembaga yang berwenang, memang merupakan prinsip penting dalam hukum administrasi negara. Namun dalam konteks hukum pemilu, penerapannya tidak dapat dilepaskan dari sifat dan tujuan norma elektoral yang bersifat lex specialis dan memiliki fungsi preventif yang kuat.

Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada secara eksplisit melarang kepala daerah melakukan penggantian pejabat dalam jangka waktu enam bulan sebelum penetapan pasangan calon sampai akhir masa jabatan, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Larangan ini tidak bersyarat pada status hukum keputusan administrasi yang dikeluarkan, melainkan fokus pada perilaku kepala daerah dalam masa yang dilarang, sebagai bentuk kontrol atas potensi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang dapat mencederai prinsip kesetaraan peserta dalam kontestasi pilkada.

PT.TUN Manado juga menggunakan Pasal 33 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa “keputusan yang dicabut tidak lagi menimbulkan akibat hukum”. Namun pendekatan ini merupakan tafsir yang terlalu tekstual dan administratif, serta mengabaikan konteks elektoral yang mensyaratkan penerapan prinsip keadilan substantif. Tafsir atas norma tersebut sah dalam ruang lingkup hukum administrasi secara umum, tetapi menjadi problematis bila diterapkan dalam kerangka hukum pemilu, terutama dalam konteks pelanggaran terhadap norma larangan dalam Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada.

Mengapa demikian? Karena dalam hukum pemilu, objek yang diuji bukan sekadar keberlakuan formal keputusan administrasi, tetapi niat, waktu, dan konteks tindakan pejabat yang bersangkutan. Esensi larangan Pasal 71 ayat (2) adalah untuk mencegah tindakan yang memiliki potensi memperkuat elektoral petahana melalui manipulasi birokrasi, terlepas dari apakah kemudian keputusan itu dibatalkan atau dicabut. Ini merupakan penerapan prinsip ex tunc dalam penilaian pelanggaran, bahwa pelanggaran dinilai berdasarkan saat tindakan dilakukan, bukan akibat dari pencabutan atau pembatalan di kemudian hari.

Pendekatan PT.TUN Manado yang menempatkan keberlakuan formil keputusan penggantian pejabat sebagai pembenaran atas tindakan tersebut mengabaikan tujuan substantial dari norma elektoral, yakni menjaga fairness, netralitas birokrasi, dan mencegah keuntungan tidak adil (unfair adventage) bagi petahana. Dengan kata lain, penekanan pada presumption of legality dalam kasus ini telah menegasikan konteks normatif yang lebih besar, yakni perlindungan integritas pemilu.

Kekeliruan ini menjadi semakin nyata jika dibandingkan dengan pendekatan Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 570 K/TUN/PILKADA/2016 yang secara tegas menyatakan bahwa “…pelanggaran sudah terjadi dan tidak hapus karena dicabut…”. Putusan tersebut menegaskan bahwa esensi pelanggaran terletak pada perbuatan yang dilakukan dalam waktu terlarang, bukan pada apakah keputusan tersebut dibatalkan atau tidak. Oleh karena itu, ketika seorang kepala daerah melakukan tindakan mutasi atau pelantikan pejabat tanpa memperoleh persetujuan tertulis dari Mendagri dalam masa larangan, maka pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (2) telah sempurna terjadi.

Pendekatan yang terlalu administratif dan formil dalam melihat legalitas keputusan mutasi justru berpotensi melanggengkan praktik abuse of power dalam kontestasi politik elektoral. Padahal dalam hukum pemilu, peran lembaga peradilan sangat sentral dalam memberikan perlindungan terhadap prinsip-prinsip keadilan pemilu, termasuk melalui tafsir yang progresif dan kontestual terhadap norma-norma larangan yang dimaksudkan untuk menjaga netralitas kekuasaan eksekutif daerah selama masa kampanye dan pemilihan.

Di sinilah letak pentingnya memahami bahwa presumption iustae causa bukanlah asas yang bersifat absolut, apalagi jika digunakan untuk menutupi praktik yang secara substansi melanggar norma-norma demokrasi elektoral. Dalam konteks larangan penggantian pejabat oleh petahana, keabsahan formil suatu keputusan bukanlah tameng yang dapat menghapus sifat pelanggaran dari tindakan tersebut. Dengan kata lain, asas tersebut harus tunduk pada prinsip lex specialis derogate legi generali, di mana norma hukum pemilu yang bersifat khusus harus diutamakan penerapannya dibanding norma administrasi yang bersifat umum.

Pengabaian Prinsip Preventive Elactoral Justice

Larangan yang tertuang dalam Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada merupakan pengejewantahan dari prinsip preventive electoral justice, yaitu bentuk keadilan pemilu yang lebih mengedepankan pencegahan dibandingkan dengan penindakan setelah pelanggaran terjadi. Prinsip ini lahir dari kesadaran akan kerentanan sistem demokrasi elektoral terhadap praktik-praktik manipulatif yang dilakukan petahana melalui instrumen kekuasaan administratif. Oleh karena itu, pelanggaran penggantian pejabat selama masa tertentu bertujuan menutup celah penyalahgunaan wewenang eksekutif untuk tujuan elektoral.

Sayangnya, putusan PT.TUN Manado justru mengabaikan prinsip fundamental ini dengan menerapkan pendekatan yang terlalu prosedural dan administratif. Hakim lebih berfokus pada aspek-aspek formil – apakah keputusan mutasi sudah dibatalkan atau belum, apakah ASN sudah dikembalikan ke jabatan semula atau tidak – dan mengabaikan substansi perbuatan yang dilarang oleh norma pemilu. Padahal, yang menjadi inti dari Pasal 71 ayat (2) bukan pada hasil akhir dari suatu tindakan administrasi, melainkan pada waktu dan konteks tindakan itu dilakukan, khususnya apakah dilakukan dalam masa larangan dan tanpa persetujuan tertulis dari Mendagri.

Pendekatan legalistik-formal yang demikian mengaburkan substansi hukum pemilu sebagai lex specialis yang menjunjung asas-asas keadilan dan integritas pemilu, dan secara tidak langsung melegitimasi potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh petahana. Ketika pengadilan mengabaikan kontes waktu dan niat elektoral dari tindakan mutasi pejabat, maka pengadilan setelah gagal menjalankan peran strategisnya dalam menjaga fairness dan netralitas dalam pemilu.

Pengadilan seharusnya menempatkan dirinya sebagai aktor penjaga keadilan substantif dalam pemilu, bukan sekadar penjaga legalitas formal dal sistem administrasi pemerintahan. Tafsir hukum yang terlalu administratif terhadap norma-norma pemilu justru memperlemah kontrol terhadap perilaku abuse of power dan mengancam kepercayaan publik terhadap proses demokrasi,

Diskoneksi antara Kepentingan Elektoral dan Kepentingan Administratif

Pertimbangan hakim PT.TUN Manado bahwa tidak terdapat kerugian yang dialami ASN karena telah dikembalkan ke jabatan semula menunjukkan adanya kekeliruan serius dalam memahami esensi dan tujuan norma larangan Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada. Hakim tampaknya menilai perkara ini hanya melalui kacamata hak personal AS sebagai objek mutasi, bukan sebagai bagian dari rangkaian perbuatan hukum yang mengancam integritas pemilu secara sistemik.

Padahal, pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (2) bukanlah delik aduan yang menyaratkan adanya kerugian individual, melainkan merupakan larangan normatif yang bersifat absolut terhadap kepala daerah petahana untuk melakukan tindakan tertentu dalam jangka waktu tertentu. Fokus utamanya adalah pencegahan abuse of power dalam masa menjelang pilkada, bukan perlindungan terhadap individu ASN sebagai objek keputusan.

Dengan menilai bahwa tidak ada kerugian karena ASN sudah dikembalikan ke posisi semula, hakim mengabaikan fakta penting bahwa tindakan tersebut dilakukan dalam masa waktu yang dilarang, dan tanpa persetujuan tertulis dari Mendagri, sehingga telah memenuhi unsur pelanggaran yang dapat dikenai sanksi diskualifikasi calon kepala daerah. Ini menunjukkan adanya diskoneksi metodologis antara pendekatan administratif formalistik dan pendekatan hukum pemilu yang berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan pemilu.

Dalam logika hukum pemilu, pelanggaran terhadap norma elektoral harus dilihat dalam konteks kepentingan publik yang lebih luas, yaitu menjaga agar kompetisi elektoral berlangsung setara dan adil tanpa intervensi atau dominasi struktural oleh petahana. Mutasi pejabat menjelang pemilu, meskipun kemudian dibatalkan, tetap merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang dapat memengaruhi psikologis birokrasi, menciptakan kecenderungan loyalitas semu, serta mengganggu netralitas ASN, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas demokrasi.

Putusan ini memperlihatkan bahwa hakim tidak mengaitkan tindakan mutasi pejabat dengan konsekuensi elektoral, padahal Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ayat (2) dapat mengakibatkan diskualifikasi sebagai calon kepala daerah. Dengan demikian, esensi norma ini jelas dimaksudkan untuk menjaga fairness dalam pilkada, bukan sekadar memastikan hak-hak ASN sebagai individu.

Pembatalan Tidak Menghapus Jejak Abuse of Power

Putusan PT.TUN Manado juga menunjukkan absennya analisis terhadap prinsip level playing field, sebuah prinsip fundamental dalam demokrasi elektoral yang menjamin bahwa seluruh peserta pemilu bersaing dalam arena yang setara dan bebas dari intervensi kekuasaan. Prinsip ini menuntut bahwa pejabat yang mencalonkan diri kembali (petahana) tidak boleh memanfaatkan fasilitas atau otoritas jabatannya untuk memperoleh keuntungan elektoral yang tidak adil.

Dalam kasus Bupati Minahasa Utara, tindakan melakukan mutasi pejabat ASN – meskipun kemudian dibatalkan – telah secara nyata menunjukkan penggunaan instrumen kekuasaan struktural demi kepentingan elektoral. Mutasi pejabat dalam masa larangan bukan hanya soal administratif, tetapi merupakan ekspresi nyata dari ketimpangan kuasa politik, yang dapat mengintimidasi aparatur, menggeser loyalitas birokrasi, dan memengaruhi distribusi dukungan secara tidak adil.

Pandangan bahwa pelanggaran seolah-olah dapat “dipulihkan” hanya karena pejabat ASN dikembalikan ke posisi semula merupakan kekeliruan mendasar. Dalam konteks hukum pemilu, yang menjadi ukuran bukan hanya hasil akhir secara administratif, tetapi juga proses dan niat (mens rea) dari tindakan tersebut, serta dampaknya terhadap atmosfer elektoral yang adil. Seperti yang ditekankan Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 570 K/TUN/PILKADA/2016 “pelanggaran telah terjadi dan tidak hapus karena keputusan dicabut”. Dalam konteks ini, pembatalan administratif bukanlah penghapus jejak abuse of power.

Dengan kata lain, perilaku kekuasaan telah terjadi dan berdampak terhadap konteks kontestasi politik lokal. Pejabat ASN sebagai bagian dari mesin birokrasi pemerintahan, bukan hanya subjek kepegawaian, melainkan juga bagian dari struktur penyangga demokrasi. Oleh karena itu, tindakan petahana yang menyalahgunakan kewenangan untuk mengganti pejabat dalam waktu larangan – meski sementara – telah merusak imparsialitas lembaga negara di tingkat lokal.

Refleksi Akhir

Putusan ini menimbulkan kekhawatiran serius terhadap masa depan penegakan prinsip keadilan pemilu dan potensi pembentukan preseden yuridis yang mereduksi pelanggaran pemilu menjadi sekadar urusan administratif. Putusan ini perlu dikritik karena menunjukkan gejala pendangkalan logika hukum pemilu, dengan menyandarkan penilainnya pada asas-asas administrasi negara yang tidak sepenuhnya relevan untuk konteks pemilu. Pendekatan huku yang digunakan oleh hakim perlu dikaji ulang agar ke depan tidak menjadi yurisprudensi yang justru melemahkan integritas pemilu.

Jika tindakan seperti mutasi pejabat dalam masa larangan bisa dimaafkan dengan argumen pencabutan atau pengembalian jabatan, maka petahana lain dapat tergoda untuk mengambil risiko yang sama karena merasa ada celah hukum. Selain itu, birokrasi akan tetap berada dalam posisi rentan, dengan loyalitas yang terdistorsi akibat manuver kekuasaan. Di sisi lain, Bawaslu maupun KPU kehilangan landasan kuat untuk mengambil tindakan korektif seperti pembatalan pencalonan. Akibatnya, terjadi distorsi sistemik terhadap ekosistem demokrasi lokal, di mana kompetisi tidak Langi berlangsung secara nyata. Ini adalah pengingkaran terhadap prinsip electoral fairness, yang secara universal diakui sebagai pondasi pemilu yang demokratis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *