Firman Afriansyah
Mahasiswa Hukum Tata Negara - Universitas Pamulang
Fenomena #kaburajadulu sedang ramai diperbincangkan di sosial media. Maksud tren Kabur Aja Dulu adalah mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri. Berbagai influencer menyuarakan pengalaman dan harapan melalui narasi #kaburajadulu sehingga menjadi sorotan di dunia maya akhir-akhir ini. Banyak yang mengaitkan tren ini dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia. Prof. Bagong menjelaskan bahwa setiap gerakan pasti memiliki latar belakang yang kuat. Biasanya berupa kekecewaan terhadap kinerja pemerintah, tindakan aparat, atau penyimpangan kekuasaan.
Tren tersebut dipercaya sebagai bentuk frustrasi anak muda terhadap kondisi ekonomi, sulitnya mendapatkan pekerjaan, mahalnya pendidikan, serta rendahnya gaji. Kemudian, banyak yang melihat bekerja di luar negeri sebagai alternatif untuk kehidupan yang lebih baik.
Fenomena ini bisa dijelaskan lewat teori public sphere dari Jürgen Habermas, yang juga digunakan Erik Ardiyanto dalam penelitiannya soal protes mahasiswa 2019–2020. Dalam teori tersebut, public sphere adalah ruang di mana warga negara bebas berdiskusi secara rasional tentang isu-isu publik, lalu menyampaikan aspirasi mereka ke negara. Tapi nyatanya, ruang itu makin lama makin sempit. Kritik sering dianggap ancaman, suara mahasiswa dibungkam, dan media sering dikontrol oleh kepentingan tertentu.
Habermas menyebut bahwa ketika public sphere tidak sehat, komunikasi politik jadi timpang rakyat tidak lagi merasa terhubung dengan sistem negara. Erik Ardiyanto menunjukkan bahwa aksi protes mahasiswa 2019–2020 merupakan bentuk perlawanan terhadap situasi ini. Tapi setelah gelombang protes itu, banyak anak muda merasa bahwa perjuangan mereka tidak digubris. Akhirnya, banyak yang memilih diam. Dan sebagian lainnya, memilih “kabur.”
The Government Means Nothing Without Us adalah ungkapan yang lahir dari gelombang demonstrasi yang digelar 17 Februari 2025 lalu. Ungkapan itu sangat tepat menggambarkan apa yang tengah terjadi di Indonesia saat ini. Pasalnya, pekan ini Indonesia diramaikan dengan dua tagar besar di internet: #kaburajadulu dan #indonesiagelap. Kedua tagar itu menjelaskan di mana posisi rakyat saat ini di hadapan pemerintah. Hadirnya dua tagar itu menjadi bukti bahwa rakyat kecewa terhadap pemerintah karena tidak mengerti bahkan tidak peduli pada persoalan rakyat. Respon pemerintah yang melakukan kontra narasi membuat ungkapan The Government Means Nothing Without Us menjadi sangat tepat dikatakan.
Bukan hanya #Indonesiagelap, kontra narasi pemerintah untuk #kaburajadulu jauh lebih memprihatinkan. Pasalnya, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Emmanuel Ebenezer justru mengusir rakyat dengan mengatakan “Kabur sajalah, kalau perlu jangan balik lagi”. Pernyataan ini menandakan bahwa pemerintah tidak menyadari potensi bahaya dari trend ini yang berpotensi menciptakan fenomena yang disebut sebagai human flight capital atau brain drain. Ini adalah masalah tentang modal dan sumber daya manusia intelektual yang akan hilang. Hal ini tentu jauh dari kontra narasi yang dilontarkan Raffi Ahmad “pergi migran pulang juragan”. Raffi Ahmad berupaya mengubah isu human flight capital atau brain drain menjadi seolah hanya perihal bisnis. Bukan, ini bukan perihal bisnis, namun perihal potensi hidup dan masa depan Indonesia. Pekerja yang kabur, berpotensi tidak akan kembali lagi, dan pemerintah abai terhadap ini.
Fenomena #kaburajadulu dianggap sebagai bentuk kekecewaan masyarakat Indonesia terhadap kondisi ekonomi, sosial, dan keadilan di dalam negeri. Kondisi tersebut diduga karena adanya sejumlah kebijakan pemerintah belakangan ini yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat.
FAKTOR PENYEBAB #KABURAJADULU
Fenomena viralnya tagar #kaburajadulu di media sosial Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Beberapa penyebab utamanya meliputi:
- Kondisi Lapangan Pekerjaan
Sumber foto: https://images.app.goo.gl/s2yhn8zuqSjwyqAu5
Banyak anak muda di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan kualifikasi dan harapan mereka. Tingkat pengangguran yang cukup tinggi, khususnya di kalangan fresh graduate, menjadi salah satu faktor utama yang mendorong ketidakpastian dalam dunia kerja. Meskipun mereka memiliki latar belakang pendidikan yang baik, persaingan di pasar kerja sangat ketat, dengan sedikitnya lowongan yang tersedia dibandingkan jumlah pencari kerja yang terus bertambah setiap tahun.
Selain itu, meskipun berhasil mendapatkan pekerjaan, banyak dari mereka merasa tidak puas karena gaji yang diterima sering kali tidak sebanding dengan beban kerja yang harus ditanggung. Jam kerja yang panjang, tekanan kerja yang tinggi, serta kurangnya apresiasi dari perusahaan membuat mereka merasa terjebak dalam situasi yang stagnan. Ditambah lagi dengan tingginya biaya hidup di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung, yang membuat sulit bagi mereka untuk menabung atau meraih stabilitas finansial.
Kondisi ini mendorong banyak anak muda untuk melirik peluang di luar negeri, di mana mereka percaya dapat menemukan lingkungan kerja yang lebih profesional, upah yang lebih kompetitif, serta kesempatan untuk mengembangkan diri secara pribadi maupun profesional. Mereka melihat bekerja atau belajar di luar negeri sebagai jalan untuk hidup yang lebih baik.
- Kualitas Hidup
Sumber foto: https://images.app.goo.gl/NcGKj3raJiYq2y4N9
Faktor-faktor seperti sistem pendidikan yang lebih maju, fasilitas kesehatan yang lebih memadai, lingkungan kerja yang sehat, serta jaminan sosial yang lebih baik menjadi daya tarik utama bagi banyak orang yang ingin tinggal dan membangun masa depan di luar negeri. Sistem pendidikan di negara-negara maju sering kali menawarkan kurikulum yang lebih inovatif, akses terhadap riset berkualitas tinggi, serta kesempatan pengembangan diri yang lebih luas, baik di bidang akademik maupun non-akademik.
Selain itu, fasilitas kesehatan yang canggih dengan pelayanan medis yang profesional memberikan rasa aman terhadap kualitas hidup jangka panjang. Lingkungan kerja yang sehat, ditandai dengan budaya kerja yang menghargai keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional, serta perlindungan hak-hak pekerja yang jelas, juga menjadi faktor penting yang mendorong minat untuk merantau. Jaminan sosial yang kuat, seperti asuransi kesehatan, tunjangan pengangguran, hingga pensiun yang terjamin, memberikan rasa aman secara finansial di masa depan. Negara-negara seperti Jepang, Jerman, Australia, dan Kanada sering menjadi destinasi favorit karena tidak hanya menawarkan peluang karier yang menjanjikan, tetapi juga kualitas hidup yang lebih tinggi, lingkungan yang aman, serta sistem pemerintahan yang relatif transparan dan stabil, sehingga membuat banyak orang merasa lebih dihargai dan memiliki masa depan yang cerah.
- Ketidakpuasan Terhadap Kondisi Sosial dan Politik
Sumber foto: https://images.app.goo.gl/rn78Y9MYkmUbQoSK9
Sebagian anak muda di Indonesia merasa kecewa dengan kondisi politik yang dipenuhi isu korupsi, birokrasi yang lambat, dan ketidakadilan sosial, yang membuat mereka pesimis terhadap masa depan di dalam negeri. Korupsi yang merajalela merusak kepercayaan terhadap sistem pemerintahan, sementara birokrasi yang berbelit-belit menghambat kreativitas dan inisiatif mereka, terutama dalam dunia usaha dan pelayanan publik.
Hal ini menciptakan situasi yang membuat mereka merasa bahwa kerja keras saja tidak cukup tanpa dukungan sistem yang adil dan transparan. Akibatnya, banyak yang terdorong untuk “kabur” ke luar negeri demi mencari lingkungan yang lebih stabil, progresif, dan memberikan kesempatan yang lebih besar untuk berkembang, baik secara pribadi maupun profesional.
Jika dilihat dari sudut pandang politk, tagar ini merupakan bentuk kritikan terhadap kebijakan pemerintah. Misalnya:
- Kebebasan berpendapat yang terancam
- Korupsi yang semakin menggila
- Tingginya kesenjangan sosial
- Kualitas birokrasi pemerintahan yang tidak efisien bahkan dinilai mempersulit warga
Keadaan yang menjadi keluhan masayarakat inilah yang kemudian melatarbelakangi fenomena #kaburajadulu.
Sumber foto: https://images.app.goo.gl/VLDxoNN1dpVUP75u7
Tren #KaburAjaDulu bukan hanya sebuah lelucon di media sosial, melainkan refleksi dari kekecewaan dan hilangnya harapan generasi muda terhadap negara. Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah konkret untuk mengatasi akar permasalahan yang melahirkan tren ini, maka visi Indonesia Emas 2045 bisa menjadi sekadar angan-angan tanpa realisasi.
Anak muda adalah masa depan bangsa, tetapi jika mereka merasa bahwa negeri ini tidak memberikan mereka masa depan, maka siapa yang akan bertahan untuk membangun Indonesia? Inilah saatnya bagi pemerintah untuk berhenti menutup mata dan benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan hanya untuk kepentingan segelintir elit.
Jika tidak, maka generasi emas yang seharusnya menjadi pilar kemajuan bangsa justru akan menjadi generasi yang lebih memilih pergi dan berkontribusi bagi negara lain.