Bachtiar
Pengajar Hukum Tata Negara FH UNPAM
Menjelang Dirgahayu ke-80 Republik Indonesia, Presiden Prabowo Subianto mengambil tindakan politik dan hukum yang mengejutkan publik. Melalui keputusannya, presiden memberikan amnesti kepada 1.116 narapidana dan abolisi, termasuk kepada politisi terkenal seperti Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong. Terdapat tanggapan yang berbeda terhadap tindakan ini; sebagian orang melihatnya sebagai langkah rekonsiliasi, sedangkan yang lain melihatnya sebagai politisasi kekuasaan presiden.
Banyak orang mempertanyakan apakah keputusan ini telah sesuai dengan spirit dan moralitas konstitusi dan prinsip keadilan, ataukah justru menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia kembali ke praktik sentralistik dan transaksional? Menghadapi berbagai tanggapan publik, dari yang memuji sebagai tindakan kenegarawanan hingga yang mencibir sebagai rekayasa kekuasaan atau politik balas budi, perlu mempertimbangkan fenomena ini dengan hati-hati dan kritis, tidak hanya dalam konteks praktik politik, tetapi juga dalam konteks konstitusi, keadilan, dan tata kelola demokrasi yang baik.
Sebagai Hak Konstitusional Presiden
Secara normatif, amnesti dan abolisi adalah dua instrumen konstitusi yang diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 “Presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan perhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Dalam konteks ini, pemberian amnesti dan abolisi sebagai bentuk pengampunan merupakan hak konstitusional Presiden dalam kapasitasnya sebagai kepala negara.
Baik Amnesti maupun Abolisi, keduanya merupakan bentuk pengampunan yang diberikan Presiden kepada pelaku tindak pidana. Amnesti bersifat kolektif, sedangkan Abolisi bersifat individual dan selektif. Amnesti diberikan kepada individu atau kelompok atas tindak pidana politik atau tindakan lain yang berdampak sosial dan publik secara luas. Sementara Abolisi menyasar seseorang individu dalam bentuk penghentian proses hukum yang masih dalam tahap yustisia namun belum di putus pengadilan.
Meski merupakan hak konstitusional Presiden, pemberian Amnesti dan Abolisi tetap memerlukan pertimbangan DPR sebelum dapat dijalankan oleh Presiden. Artinya, kekuasaan presiden untuk memberikan Amnesti dan Abolisi bukanlah kekuasaan yang absolut, melainkan pelaksanaanya dilakukan dalam kerangka sistem check and balances.
Karena dilakukan di luar mekanisme peradilan, maka praktik pemberian Amnesti dan Abolisi kerap diartikan sebagai instrumen ekstra-yudisial, namun bukan berarti ekstra-moral. Dalam konteks ini, pertimbangan legal formal tidak menjadi satu-satunya rujukan utama bagi Presiden dalam menjalankan hak konstitusionalnya untuk memberikan Amnesti dan Abolisi, melainkan juga mempertimbangkan aspek etika politik dan moralitas kekuasaan, serta prinsip keadilan.
Sebagai instrumen ekstra-yudisial, pemberian Amnesti dan Abolisi kepada seseorang atau kelompok orang secara teknis hukum dapat diuji. Batu ujinya tentu adalah konstitusi yakni nilai konstitusionalitasnya. Selain konstitusional, praktik semacam ini dapat diuji dengan menggunakan prinsip-prinsip menurut ajaran hukum, yakni kepantasan, keadilan substantif, dan kepentingan umum.
Melalui ketiga prinsip tersebut, pertanyaan-pertanyaan yang wajib diajukan: apakah pemberian pengampunan telah mempertimbangkan norma kepatutan menurut nalar publik? apakah pemberian pengampunan telah tepat secara waktu dan konteks politik? apakah subjek hukum yang diberi pengampunan memang layak secara moral dan sosial untuk diampuni, ataukah justru ini menjadi bentuk impunitas atas kekuasaan? apakah pemberian pengampunan ditujukan untuk kepentingan publik atau justru sekadar memenuhi agenda politik penguasa?
Apabila berbagai pertanyaan tersebut dijawab sebaliknya, maka pemberian pengampunan tersebut – meskipun tidak melanggar konstitusi, dapat dipandang sebagai suatu abuse of authority, karena dilakukan atas dasar kepentingan subjektif penguasa dan tidak berorietasi kepentingan negara.
Arah Amnesti Dan Abolisi Presiden Prabowo
Bagi publik, pemberian Amnesti kepada Hasto Kristiyanto yang saat ini dimeja-hijaukan oleh KPK dalam perkara obstruction of justice dan Tom Lembang eks menteri era Jokowi yang kini telah merapat pada kubu oposisi, dipahami bukan sekadar suatu keputusan hukum semata, tetapi juga diduga sarat dengan kepentingan politik.
Langkah Presiden ini dapat dibaca dalam dua arah, yakni sebagai bentuk rekonsiliasi politik nasional dan/atau sebagai bentuk kompromi-akomodasi politik. Pada arah yang pertama, Presiden mengkonsoilidasikan pemerintahannya denga cara meredam konflik dan ketegangan politik yang dapat menggangu atau menghambat akselerasi jalannya pemerintahan negara. Sementara pada arah yang kedua, Presiden berkepentingan untuk membangun koalisi besar demi menopang stabilitas pemerintahan, sehingga pihak-pihak strategis urgen untuk diberi “perlindungan hukum”.
Jika ditarik ke arah yang kedua, maka tindakan ini berpotensi mengaburkan batas antara politik hukum dan hukum politik, yakni ketika kekuasaan tidak lagi bekerja untuk menegakkan hukum, melainkan hukum dibentuk dan diatur demi melanggengkan kekuasaan.
Langkah ini juga menimbulkan pertanyaan fundamental: ke mana arah demokrasi kita? Apakah kita kembali pada demokrasi transaksional, di mana pengampunan diberikan untuk memperluas koalisi, atau kita sedang membangun demokrasi yang substantif, yang menjunjung tinggi akuntabilitas dan integritas?
Jika tren ini terus berlanjut – di mana presiden menggunakan kewenangan hukum untuk meredam atau mengakomodasi kekuatan politik – maka akan lahir semacam presidensialisme absolut yang tidak sejalan dengan semangat checks and balances dalam sistem demokrasi konstitusional. Yang lebih berbahaya lagi, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan pada institusi hukum, karena merasa bahwa hukum bukan lagi panglima, melainkan alat politik.
Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Presiden tidak hanya bertanggung jawab untuk memastikan hukum berjalan, tetapi juga bertanggung jawab atas kepercayaan publik terhadap institusi negara. Memberikan amnesti atau abolisi tanpa transparansi dan alasan yang dapat diterima oleh nalar publik hanya akan memperkuat persepsi bahwa hukum mudah dinegosiasikan oleh kekuasaan.
Menjaga Nalar Publik
Keputusan Presiden Prabowo untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada tokoh-tokoh strategis dalam konfigurasi politik nasional bukanlah peristiwa biasa. Ini adalah tindakan politik hukum yang akan dikenang publik dan menjadi preseden konstitusional penting. Amnesti dan abolisi memang sah di mata hukum, tetapi apakah tepat secara etika politik? Apakah publik akan menilai ini sebagai bentuk kebesaran hati, atau justru sebagai konsesi politik untuk meredam kekuatan-kekuatan politik lawas yang ingin bernegosiasi ulang dalam pemerintahan baru?
Keputusan untuk memberikan amnesti dan abolisi haruslah disertai dengan narasi dan argumentasi publik yang kuat. Dalam konteks demokrasi modern, kebijakan publik tidak hanya diukur dari legalitas, tetapi juga dari legitimasi sosial-politik. Presiden dan jajaran eksekutif perlu menjelaskan dasar pertimbangan, urgensi, dan nilai manfaat dari setiap kebijakan pengampunan yang diambil. Tanpa itu, publik akan melihat kebijakan ini bukan sebagai tindakan kenegarawanan, melainkan sebagai langkah politis yang sarat kepentingan sempit.
Jika tidak dijelaskan secara jernih kepada publik, maka yang akan muncul bukan apresiasi, melainkan skeptisisme dan ketidakpercayaan, yang akan menjadi batu sandungan serius dalam upaya Presiden membangun kepercayaan rakyat. Opini publik cenderung akan mengarah pada asumsi bahwa ini adalah bagian dari konsolidasi kekuasaan yang dibungkus dalam narasi rekonsiliasi nasional.
Dalam konteks demokrasi yang sehat, tidak cukup sekadar menjelaskan bahwa “ini hak Presiden”. Setiap kebijakan yang memiliki dampak hukum dan politik besar perlu disertai dengan penjelasan argumentatif yang transparan, misalnya: mengapa individu tertentu diberikan abolisi? Apa urgensinya? Apakah mereka korban kriminalisasi politik atau justru bagian dari sistem yang sedang dikritik?
Saat ini, bola sudah ada di tangan Presiden. Tinggal bagaimana ia menunjukkan bahwa kekuasaan bisa dijalankan secara adil, arif, dan bertanggung jawab – bukan hanya di hadapan hukum, tetapi juga di hadapan rakyat dan sejarah. Sebagai pemimpin baru, Prabowo memiliki kesempatan untuk membangun warisan politik berdasarkan integritas dan reformasi hukum. Memberikan amnesti dan abolisi kepada tokoh-tokoh elite tanpa parameter objektif hanya akan memperkuat persepsi bahwa kekuasaan digunakan untuk melayani elite, bukan rakyat.
Refleksi dan Harapan
Pemberian amnesti dan abolisi bisa menjadi alat restorasi keadilan, apabila digunakan dengan bijak dan berdasar pada prinsip kemanusiaan dan rekonsiliasi nasional. Namun sebaliknya, ia juga bisa menjadi senjata impunitas politik jika digunakan hanya untuk melindungi sekutu kekuasaan atau menciptakan kesan “politik balas budi”.
Pemerintah harus menyadari bahwa rakyat tidak lagi pasif. Era keterbukaan informasi dan partisipasi publik telah mengubah lanskap politik menjadi semakin horizontal. Kepercayaan masyarakat terhadap negara tidak bisa lagi dibeli dengan narasi tunggal dari kekuasaan. Publik menuntut akuntabilitas, keadilan, dan kepantasan dari setiap tindakan yang diambil oleh para pemimpin negeri ini.
Kebijakan amnesti dan abolisi adalah bentuk kekuasaan yang agung, namun juga berisiko tinggi jika tidak dijalankan dengan prinsip etika dan tanggung jawab konstitusional. Di tengah demokrasi yang belum matang dan sistem hukum yang masih rentan dipolitisasi, keputusan Presiden Prabowo ini bisa menjadi lompatan berani menuju rekonsiliasi nasional atau langkah awal yang keliru menuju kekuasaan yang eksklusif.
Dalam konteks itulah, publik, akademisi, media, dan lembaga pengawas harus berani melakukan kontrol sosial dan refleksi kritis, agar kekuasaan tidak menjadi arena kompromi elite semata, melainkan alat pemulihan kepercayaan publik, dan jalan menuju keadilan substantif yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi demokrasi dan keadilan, kita tidak boleh membiarkan kewenangan digunakan secara serampangan. Karena di balik setiap keputusan Presiden, terdapat cermin kualitas demokrasi kita. Bila kepercayaan publik luntur, maka demokrasi pun akan kehilangan jiwanya.