Kasus Pelecehan Seksual Di Universitas Pancasila

Millati Hasanah

Mahasiswa Fakultas Hukum (Universitas Pamulang)

Kasus dugaan pelecehan seksual di Universitas Pancasila yang melibatkan Rektor, Edie Toet Hendratno, merupakan peristiwa yang menghebohkan dan menyoroti pentingnya penanganan kasus pelecehan seksual di lingkungan pendidikan tinggi. Berikut adalah uraian mengenai peristiwa, analisis, kesimpulan, dan saran terkait kasus ini:

Dugaan Pelecehan Seksual Rektor Universitas Pancasila, Edie Toet Hendratno, diduga melakukan pelecehan seksual terhadap seorang karyawan di kampusnya pada Februari 2023. Kronologi Korban, yang merupakan staf di Universitas Pancasila, mengatakan bahwa pelecehan seksual terjadi di ruang kerja Rektor. Peristiwa bermula saat korban diminta untuk meneteskan obat tetes mata ke mata Rektor, namun kemudian Rektor melakukan tindakan yang dianggap tidak pantas. Korban baru melaporkan kejadian tersebut ke polisi pada Februari 2024, karena merasa takut. Kasus ini telah naik ke tahap penyidikan dan Rektor Universitas Pancasila telah dinonaktifkan dari jabatannya.

Kasus ini menunjukkan bagaimana kekuasaan dan kesenjangan dapat menjadi faktor yang mempermudah terjadinya pelecehan seksual. Rektor, sebagai pemimpin tertinggi di universitas, memiliki wewenang yang besar dan dapat memanfaatkannya untuk melakukan tindakan tidak pantas. Kasus ini juga menunjukkan adanya kultur ketakutan di lingkungan universitas. Korban baru berani melaporkan kejadian setelah setahun karena takut akan konsekuensi yang mungkin terjadi jika melapor. Kasus ini juga menunjukkan bahwa mekanisme pelaporan kasus pelecehan seksual di Universitas Pancasila mungkin tidak efektif. Korban merasa tidak aman untuk melaporkan kejadian tersebut kepada pihak universitas. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS): UU TPKS merupakan dasar hukum utama dalam menangani kasus kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual. UU ini mendefinisikan berbagai bentuk kekerasan seksual, memberikan perlindungan bagi korban, dan mengatur tentang proses hukum bagi pelaku.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Pasal 285 KUHP tentang perbuatan cabul, Pasal 289 KUHP tentang perbuatan cabul dengan kekerasan, dan Pasal 290 KUHP tentang perbuatan cabul dengan ancaman dapat menjadi dasar hukum untuk menjerat pelaku pelecehan seksual. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi: Permendikbudristek ini mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, termasuk mekanisme pelaporan, investigasi, dan sanksi bagi pelaku. Universitas Pancasila juga memiliki statuta atau peraturan internal yang mengatur tentang tata tertib dan kode etik bagi civitas akademika. Statuta ini dapat menjadi dasar hukum untuk menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku pelecehan seksual. Berdasarkan dasar hukum tersebut, kasus dugaan pelecehan seksual di Universitas Pancasila dapat diproses secara hukum, baik melalui jalur pidana maupun administratif. Penegakan hukum yang tegas dan adil sangat penting untuk memberikan efek jera bagi pelaku dan melindungi korban dari kekerasan seksual.

Menurut penulis kasus dugaan pelecehan seksual di Universitas Pancasila menunjukkan bahwa pelecehan seksual dapat terjadi di mana saja, termasuk di lingkungan pendidikan tinggi. Kasus ini juga menunjukkan pentingnya untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi korban pelecehan seksual. Universitas harus memiliki mekanisme pelaporan yang jelas dan efektif, serta memberikan perlindungan dan dukungan bagi korban.

Universitas Pancasila dan institusi pendidikan tinggi lainnya perlu meningkatkan kesadaran tentang pelecehan seksual dan pentingnya pencegahan. Kampanye edukasi dan pelatihan dapat dilakukan untuk meningkatkan pemahaman tentang pelecehan seksual, hak- hak korban, dan mekanisme pelaporan. Universitas harus memiliki mekanisme pelaporan yang jelas, mudah diakses, dan aman bagi korban. Mekanisme ini harus mencakup proses investigasi yang adil dan transparan, serta perlindungan bagi korban dari intimidasi dan diskriminasi. Universitas harus menyediakan dukungan bagi korban pelecehan seksual, baik dalam bentuk konseling, pendampingan hukum, maupun bantuan medis. Korban juga harus diberikan informasi tentang hak-hak mereka dan pilihan yang tersedia bagi mereka. Penegakan hukum yang tegas dan adil diperlukan untuk memberikan efek jera bagi pelaku pelecehan seksual. Kasus ini harus ditangani secara serius dan profesional oleh pihak berwenang.

Kasus ini menjadi momentum untuk mendorong perubahan budaya di lingkungan pendidikan tinggi dan menciptakan lingkungan yang aman dan adil bagi semua mahasiswa, dosen, dan staf. Universitas Pancasila dan institusi pendidikan tinggi lainnya harus berkomitmen untuk mencegah dan menangani kasus pelecehan seksual dengan serius.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *