Firman Afriansyah
Mahasiswa Hukum Tata Negara - Universitas Pamulang
Efisiensi adalah kemampuan yang seringkali terukur untuk menghindari kesalahan atau pemborosan bahan, energi, upaya, uang, dan waktu saat melakukan suatu tugas. Dalam arti yang lebih umum, efisiensi adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik, berhasil, dan tanpa pemborosan. Dalam istilah yang lebih matematis atau ilmiah, efisiensi sumber daya menandakan tingkat kinerja yang menggunakan input paling sedikit untuk mencapai output tertinggi. Efisiensi sering kali secara spesifik mencakup kemampuan penerapan upaya tertentu untuk menghasilkan hasil tertentu dengan jumlah atau kuantitas pemborosan, biaya, atau upaya yang tidak perlu minimum.
Dalam hal ini Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran 2025 (Inpres 1/2025). Sebagai regulasi terhadap pelaksanaan Keputusan presiden tersebut, regulasi ini memberikan intruksi kepada lembaga di bawah kekuasaannya untuk melaksanakan efisiensi anggaran tahun anggaran 2025.
Besaran efisiensi terkait anggaran belanja negara tahun anggaran 2025 yang dicetuskan oleh Presiden berdasarkan Inpres 1/2025 adalah sebesar Rp 306.695.177.420.000,00 (tiga ratus enam triliun enam ratus sembilan puluh lima miliar seratus tujuh puluh tujuh juta empat ratus dua puluh ribu rupiah). Angka tersebut dibagi lagi atas anggaran belanja kementerian/lembaga tahun anggaran 2025 sebesar Rp 256.100.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh enam triliun seratus miliar rupiah) dan Rp 50.595.177.420.000,00 (lima puluh triliun lima ratus sembilan puluh lima miliar seratus tujuh puluh tujuh juta empat ratus dua puluh ribu rupiah).
Pemerintah pusat selaku lembaga tertinggi di pemerintahan bertanggung jawab terhadap pembuatan identifikasi rencana efisiensi belanja sesuai besaran yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, berupa belanja operasional dan non operasional, (tidak termasuk belanja pegawai dan belanja bantuan sosial), menyampaikan hasil identifikasi rencana efisiensi kerja kepada mitra Komisi DPR, dan menyampaikan usulan revisi anggaran. Sementara Pemerintah daerah sebagai perangkat daerah otonom bertanggung jawab dalam membatasi belanja untuk kegiatan penelitian, mengurangi belanja perjalanan dinas sebesar 50%, membatasi belanja honorarium, mengurangi belanja yang bersifat pendukung dan tidak memiliki output yang terukur, memfokuskan alokasi anggaran belanja pada target kinerja pelayanan publik, selektif dalam memberikan hibah, dan melakukan penyesuaian belanja APBD Tahun Anggaran 2025.
Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan Presiden Prabowo Subianto berdampak langsung pada pola kerja serta sarana pendukung di berbagai kementerian dan lembaga. Di Kementerian Perindustrian, misalnya, sistem kerja fleksibel atau flexible working arrangement mulai diterapkan sebagai upaya menyiasati keterbatasan anggaran. Pemangkasan sebesar 44,38 persen atau sekitar Rp 1,1 triliun membuat kementerian ini harus melakukan berbagai penyesuaian, mengingat pagu anggaran mereka di tahun 2025 hanya Rp 2,5 triliun.
Tak hanya berdampak pada pola kerja di kementerian dan lembaga, kebijakan efisiensi ini juga menimbulkan konsekuensi yang lebih luas, termasuk pada kesejahteraan pegawai negeri dan stabilitas ekonomi. Penghapusan gaji ke-13 dan tunjangan hari raya (THR) bagi PNS, serta pemutusan hubungan kerja bagi pegawai honorer non-PNS, berpotensi menimbulkan gejolak sosial dan ekonomi yang lebih serius. Pemangkasan anggaran yang dilakukan secara agresif tanpa strategi yang matang dapat mengguncang perekonomian nasional, mengingat belanja pemerintah merupakan pendorong utama pertumbuhan, terutama di sektor konsumsi dan investasi.
Jika daya beli masyarakat menurun drastis dan aktivitas usaha melemah, angka pengangguran berisiko meningkat, yang pada akhirnya menyeret sektor ritel, UMKM, dan industri manufaktur ke dalam perlambatan ekonomi yang lebih dalam. Selain itu, kebijakan ini juga dapat berdampak pada kepercayaan investor. Ketidakpastian ekonomi akibat pemotongan belanja negara yang berlebihan bisa membuat investor asing berpikir ulang sebelum menanamkan modal sehingga meningkatkan risiko perlambatan investasi dan potensi resesi.

Melansir dari Komite Pemantauan Pekasanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman menilai, langkah pemerintah pusat mencadangkan TKD hasil efisiensi dan tidak menyalurkannya ke daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (4) dan (5) PMK 56/2025 akan memukul belanja modal daerah. “Belajar dari enam bulan terakhir saat Inpres 1/2025 berlaku, pemotongan TKD sekitar Rp50 triliun, terutama pada DAK (Dana Alokasi Khusus) fisik, berdampak signifikan. Hampir setengah DAK fisik dipangkas dan itu sangat mengganggu proyek-proyek infrastruktur yang menjadi kewenangan daerah,” ujar Armand kepada Bisnis, Senin (11/8/2025).
Menurutnya, DAK fisik memiliki peran ganda, yaitu mendorong pemerataan pembangunan dan pencapaian prioritas nasional, serta menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi lokal. Pemangkasan anggaran tersebut, lanjutnya, membuat daerah kehilangan daya dorong untuk menjalankan pembangunan sesuai kebutuhan masing-masing.
Lebih lanjut, KPPDO menilai kebijakan PMK 56/2025 akan semakin menekan kemandirian keuangan daerah. Armand mengungkapkan selama ini ruang fiskal daerah sudah sempit akibat mandatory spending yang melebar seperti yang diatur UU 1/2025 dan aturan turunannya. Armand mencontohkan, ketentuan belanja pegawai maksimal 30% dan infrastruktur minimal 40%, serta semakin banyak alokasi yang peruntukannya diatur pusat. “DAU (Dana Alokasi Umum) sekarang tidak murni block grant, sudah bercampur specific grant. Ada DAU rasa DAK (Dana Alokasi Khusus). Artinya ruang daerah untuk mengalokasikan belanja sesuai persoalan di wilayahnya makin terbatas. Kalau begini, otonomi daerah secara fiskal ya hampir tidak ada,” ujar Armand kepada Bisnis, Senin (11/8/2025).
Melansir dari Republika.co.id, Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto, “Ada unsur dari kebijakan pemerintah pusat yang juga berimpak terhadap situasi di Pati kemarin. Ini berawal dari besarnya transfer ke daerah yang diefisienkan, Rp 50 triliun. Memang kelihatannya itu hanya seperlima dari total efisiensi yang ditargetkan, tapi bagi daerah itu angka yang besar,” kata Eko di Jakarta, Kamis (14/8/2025).
Menurutnya, banyak daerah di Indonesia memiliki kapasitas fiskal rendah sehingga bergantung pada dana transfer pusat. Pati, kata dia, termasuk daerah dengan kapasitas fiskal yang belum kuat. “Sehingga dia harus sangat bergantung dari transfer ke daerah. Implikasinya ketika diefisiensikan, kepala daerahnya pada pusing dong,” ujarnya.
Kebijakan dari efisensi ini menjadi unsur dari beberapa kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Sebagai contoh kebijakan daerah yang dilakukan oleh kabupaten Pati yang menaikkan pajak sebesar 250 persen. Hal inipun menjadi pertentangan bagi sebagian besar masyrakat Pati, pasalnya kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang mencapai 250 persen dinilai sangat memberatkan oleh masyarakat, terutama mengingat bahwa kebijakan itu tidak diterapkan secara bertahap. Kebijakan ini diumumkan tanpa sosialisasi yang memadai, menyebabkan ketidakpuasan yang semakin meluas.
Sudewo mengatakan rencana kenaikan tarif itu disepakati dalam rapat bersama para camat dan anggota Paguyuban Solidaritas Kepala dan Perangkat Desa Kabupaten Pati (Pasopati) pada Ahad, 18 Mei 2025. Sudewo mengatakan kenaikan tarif PBB-P2 itu untuk meningkatkan pendapatan Kabupaten Pati. Dia menuturkan PBB-P2 di Kabupaten Pati sudah belasan tahun tidak naik, sementara wilayah itu membutuhkan anggaran besar untuk mendukung beragam program pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik.
“Kami berkoordinasi untuk membicarakan soal penyesuaian Pajak Bumi Bangunan. Kesepakatannya itu sebesar kurang lebih 250 persen karena PBB sudah lama tidak dinaikkan. Selama 14 tahun tidak naik,” kata Sudewo, dikutip dari keterangan tertulis pada laman resmi bagian Hubungan Masyarakat Kabupaten Pati di humas.patikab.go.id pada Kamis, 7 Agustus 2025.
Di sisi lain reaksi masyarakat Pati mulai muncul dengan berbagai keluhan dan protes. Mereka yang dikenal dengan sifat sabar mulai merasakan emosinya terpancing, ketika mendengar penjelasan Bupati yang dianggap arogan. Semangat masyarakat meningkat ketika mereka mulai berkumpul untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka, menciptakan kemarahan yang mendalam terhadap pemerintahannya.
Meskipun demikian, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menyatakan bahwa fenomena kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di sejumlah daerah merupakan kebijakan murni pemerintah daerah. Hal itu disampaikan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, saat dikonfirmasi terkait tudingan kenaikan PBB-P2 di daerah sebagai dampak langsung dari kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat.
“Kalau mengenai tuduhan bahwa hal-hal yang dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah ini terkait dengan kebijakan efisiensi, kami menganggap ini sebuah tanggapan yang prematur,” katanya.
Banyaknya penolakan dan bentuk protes dari warga membuat Sudewo mengembalikan kebijakan lama agar kondisi Pati kembali kondusif dan aman. Ia menyatakan pembayaran pajak akan kembali berkiblat pada aturan lama yang berlaku pada 2024.
Pemkab Pati mengatakan salah satu alasan menaikkan besar pajak PBB hingga 250 persen adalah untuk mendukung percepatan pembangun infrastruktur di Pati. “Berusaha maksimal rumah sakit ini menjadi baik sebaiknya untuk rakyat Kabupaten Pati. Saya berusaha maksimal infrastruktur jalan yang sebelumnya kondisinya rusak berat saya perbaiki bagus,” kata Sudewo kepada detikJateng saat ditemui di sela-sela kegiatan di Pati, seperti yang dikutip detikProperti, Kamis (7/8/2025).
Sedewo mengatakan pendapatan daerah dari sektor pajak hanya sekitar Rp 36 miliar. Sementara, anggaran untuk pegawai honorer dan PPPK setiap tahun mencapai Rp 200 miliar sehingga kas Pati mengalami ketimpangan. Selain itu, PBB Pati disebut sudah 14 tahun tidak mengalami perubahan. Dengan adanya peningkatan besar pajak diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah yang saat ini masih relatif rendah dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Tengah.
Melansir dari Bisnis.com, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia alias Apkasi akan menggelar pembahasan internal terkait rencana efisiensi dana Transfer ke Daerah (TKD) oleh pemerintah pusat. Wakil Ketua Umum Apkasi Masinton Pasaribu menjelaskan langkah tersebut ditempuh untuk merumuskan sikap bersama terkait kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat, terutama bagi daerah yang masih bergantung dana TKD untuk membiayai belanja publik. “Apkasi akan membicarakan secara internal TKD yang akan diefisiensi oleh pemerintah pusat,” ujar Masinton kepada Bisnis, Kamis (14/8/2025).
Wakil Ketua Umum Apkasi Masinton Pasaribu menjelaskan langkah tersebut ditempuh untuk merumuskan sikap bersama terkait kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat, terutama bagi daerah yang masih bergantung dana TKD untuk membiayai belanja publik. “Apkasi akan membicarakan secara internal TKD yang akan diefisiensi oleh pemerintah pusat,” ujar Masinton kepada Bisnis, Kamis (14/8/2025). Bupati Tapanuli Tengah ini tidak menampik bahwa selama ini tak ada dialog resmi antara pemerintah pusat dengan pemerintah kabupaten (pemkab) terkait rencana efisiensi dana TKD.
Efisiensi anggaran dalam Inpres No. 1 Tahun 2025 harus dilakukan dengan pendekatan yang strategis dan terarah. Jika dilakukan dengan benar, efisiensi ini dapat meningkatkan produktivitas nasional, menurunkan ICOR, serta memperkuat stabilitas fiskal dan daya saing ekonomi Indonesia. Namun, jika kebijakan ini diterapkan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap investasi dan daya beli masyarakat, ada risiko bahwa efisiensi ini justru memperlambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengombinasikan kebijakan efisiensi anggaran dengan reformasi regulasi, peningkatan investasi dalam teknologi dan pendidikan, serta pemanfaatan keuangan syariah sebagai instrumen pembiayaan alternatif. Dengan strategi yang tepat, kebijakan ini dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk meningkatkan daya saing ekonomi, memperkuat stabilitas fiskal, dan menciptakan pertumbuhan yang lebih berkelanjutan di masa depan.