Polemik Pelanggaran Hak Cipta Dalam Karya Seni Musik

Aldiyanza Sukmara

Mahasiswa Fakultas Hukum (Universitas Pamulang)

Bicara mengenai seni musik tidak terlepas pada penggiatnya yang disebut dengan musisi. Musisi merupakan seorang yang memainkan alat musik ataupun bernyanyi. Sedangkan yang menciptakan musik disebut komposer atau bisa juga disebut komponis.

Seseorang dapat membuat musik lalu memberikannya pada oranglain untuk dinyanyikan. Namun, tidak jarang seorang penyanyi atau musisi menciptakan musik untuk dinyanyikan olehnya sendiri.

Musik bisa dibawakan dalam format solo maupun group. Saat ini, banyak sekali musisi yang tersebar di setiap sudut daerah. Dengan kemajuan teknologi dan seiring berkembangnya jaman, baik musisi maupun pendengar musik diberikan fasilitas berupa banyaknya platform streaming musik yang tersedia baik secara online maupun offline. Contohnya secara online adalah aplikasi seperti Spotify, Soundcloud, JOOX, dan sebagainya. Sedangkan, contoh dalam bentuk offlinenya adalah konser-konser musik yang saat ini marak diselenggarakan, selain itu kita juga dapat mendengarkan musik di cafe yang menyediakan live music. Saat ini, mudah sekali bagi seseorang untuk memperkenalkan dirinya sebagai musisi dan menyebarkan musiknya untuk didengarkan banyak orang.

Namun dalam kemudahan tersebut pastinya ada risiko yang harus ditanggung oleh para musisi. Pembajakan musik, pelanggaran hak cipta, dan penggunaan musik tanpa izin penciptanya merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh para penggiat musik. Maka dari itu pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya untuk melindungi hak-hak dari pencipta lagu. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan adanya Undang-Undang yang mengatur hak kekayaan intelektual atau bisa disebut dengan HKI.

Perlidungan hukum yang diciptakan untuk melindungi dan mengatur mengenai hak-hak pencipta lagu telah diuraikan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menyebutkan bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hal ini mengartikan bahwa hukum telah menjamin secara otomatis mengenai perlindungan hak cipta sebuah karya sejak karya tersebut lahir atau terwujudkan dengan nyata.

Penjelasan tersebut juga mengisyaratkan bahwa hak cipta tidak mengharuskan seorang pencipta untuk mendaftarkan hasil ciptaannya. Namun, alangkah lebih baiknya jika karya tersebut di daftarkan agar mendapatkan jaminan perlindungan hukum yang lebih kuat mengenai hak ciptanya.

Namun, masih banyak sekali pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Contohnya adalah kasus pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh musisi dangdut koplo VV dengan mengubah Araggement dan membawakan lagu “Sunset Di Tanah Anarki” Tanpa izin dari pemilik hak ciptanya, yaitu sebuah group band yang bernama SID. Jika berkaca pada Pasal 9 ayat (1) huruf d UU Hak Cipta, yang menyebutkan bahwa aransemen atau pengaransemenan juga termasuk dalam satu bagian dari hak ekonomi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Maka sudah jelas bahwa musisi VV telah melakukan pelanggaran hak cipta.

Maka dari itu, sesuai dengan Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang berbunyi “Pencipta, pemegang Hak Cipta dan/atau pemegang Hak Terkait atau ahli warisnya yang mengalami kerugian hak ekonomi berhak memperoleh Ganti Rugi” Ganti rugi yang dimaksud dalam pasal tersebut juga dijelaskan dalam Pasal 96 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pihak Band SID dapat mengajukan permintaan ganti rugi pada musisi VV.

Seharusnya setiap warga negara wajib untuk mentaati peraturan yang sudah berlaku. Dalam hal ini tentu membahas mengenai hak cipta musik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *