Menang Secara Hukum, Kalah Secara Moral?? Studi Putusan MA Antara Debitur dan Perusahaan Pembiayaan (No. 4556 K/Pdt/2023)

Aletia Viona Simaremare

Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Pamulang

Sengketa antara Tormauli Situmorang melawan PT BFI Finance Indonesia dalam perkara perdata No. 4556 K/Pdt/2023 membuka ruang diskusi menarik mengenai batas antara keabsahan hukum dan keadilan moral tentunya . Putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Tormauli menegaskan legalitas tindakan PT BFI Finance berdasarkan perjanjian yang sah. Namun, muncul pertanyaan: apakah suatu tindakan yang sah secara hukum selalu adil secara moral?       

Kronologi Singkat Perkaranya bisa saya simpulkan seperti ini,seorang debitur yaitu Tormauli Situmorang mengajukan pembiayaan kepada PT BFI Finance Indonesia, sebuah perusahaan pembiayaan yang bergerak di sektor leasing dan pembiayaan konsumen.                   

Dalam perjanjian pembiayaan tersebut, Tormauli memberikan jaminan fidusia berupa kendaraan untuk menjamin kewajiban utangnya. Perjanjian ini sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, yakni Undang-Undang Fidusia.

Kemudian Tormauli mengalami kesulitan dalam melakukan pembayaran angsuran atas kewajibannya. Meskipun begitu, PT BFI Finance Indonesia sebagai kreditur memiliki hak untuk melakukan tindakan eksekusi terhadap jaminan yang diberikan dalam perjanjian fidusia tersebut. Tormauli berargumen bahwa tindakan eksekusi yang dilakukan oleh PT BFI Finance Indonesia tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam perjanjian dan tidak sesuai dgn prosedur yang sah sehingga menyebabkan kerugian materiil baginya.

Kemudian ia menggugat PT BFI Finance Indonesia ke PN atas dasar perbuatan melawan hukum (PMH), tetapi Pengadilan Negeri menolak gugatan Tormauli dengan alasan bahwa eksekusi yang dilakukan oleh PT BFI Finance Indonesia sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan sah secara hukum. Kemudian ia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, namun putusan banding tetap menolak klaim Tormauli. Tidak puas dengan putusan banding, Tormauli mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.

Namun, Mahkamah Agung juga menolak kasasi Tormauli dan memutuskan untuk menguatkan putusan Pengadilan Tinggi. Dalam pertimbangan hukum, Mahkamah Agung menilai bahwa tidak terdapat kesalahan dalam penerapan hukum oleh pengadilan tingkat pertama dan banding. Dari kasus ini bisa kita analisi secara yuridis bahwa sah nya perjanjian Menurut Hukum pasal 1320 KUHPerdata mensyaratkan 4 unsur sahnya perjanjian: kesepakatan, kecakapan, objek tertentu, dan sebab yang halal. Dalam perkara ini, perjanjian antara debitur dan PT BFI Finance telah memenuhi keempat unsur tersebut.

Pembuktian Unsur PMH nya berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, PMH harus memenuhi unsur: Adanya perbuatan ,Melawan hukum,Ada kesalahan/kelalaian,ada kerugian,ada hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.

Dari fakta persidangan yang dipertimbangkan oleh MA, tampaknya Tormauli tidak berhasil membuktikan bahwa tindakan PT BFI Finance merupakan perbuatan yang melawan hukum. Dengan demikian, dari segi hukum positif, putusan MA sudah sesuai.

Namun dari sisi pertimbangan Moral dan Sosiologis di sinilah letak kontroversi dan kritik moral muncul. Seringkali dalam hubungan debitur-kreditur, posisi tawar pihak leasing/kreditur jauh lebih tinggi, dan tindakan eksekusi jaminan cenderung dilakukan secara sepihak dan tanpa empati. Walau secara hukum sah, dari sisi moral bisa diperdebatkan.                      Sebagai contoh, jika eksekusi dilakukan tanpa musyawarah terlebih dahulu, tanpa peringatan yang cukup, atau dengan menggunakan pihak ketiga (debt collector) yang represif, maka meskipun tindakan itu legal, ia tetap berpotensi melukai rasa keadilan masyarakat.

Kesimpulan

Putusan Mahkamah Agung No. 4556 K/Pdt/2023 secara hukum memang sah, namun dari sudut pandang keadilan sosial dan etika hukum, muncul pertanyaan tentang moralitas tindakan yang dilakukan oleh korporasi besar terhadap individu yang lemah secara posisi hukum dan ekonomi.

Sebagai mahasiswa hukum, penting untuk menyadari bahwa “hukum yang adil” tidak selalu sama dengan “keputusan yang legal”. Ini menantang kita untuk tidak hanya menjadi teknisi hukum, tapi juga menjadi pemikir yang kritis terhadap keadilan substantif dalam masyarakat.

Dalam banyak perkara seperti ini, hukum kerap kali lebih berpihak kepada yang memiliki akses dan kekuasaan bukan kepada yang lemah dan mencari keadilan. Apakah ini karena hukum kita terlalu kaku dalam teks atau karena aparat hukum terlalu nyaman dalam zona formalitas? Dan akhirnya, pertanyaan yang mengganggu dan mengganjal tapi perlu kita pikirkan bersama ialah apakah Mahkamah Agung sedang menegakkan hukum… atau sekadar membenarkan kekuasaan dalam balutan legalitas?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *