Rahmatin Laili
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Pamulang
Putusan Pengadilan Agama Cibinong No. 1073/Pdt.G/2017/PA.Cbn atas kasus perceraian antara Tsania Marwa dan Atalarik Syach yang dikaruniai 2 (dua) orang anak. Bahwa putusan Pengadilan Agama yang memberikan hak asuh kepada Tsania Marwa seharusnya dilaksanakan. Kendala dalam eksekusi menunjukkan adanya permasalahan dalam penegakan hukum terkait hak asuh anak. Meskipun kepentingan terbaik anak harus dipertimbangkan, hal ini tidak seharusnya menjadi alasan untuk mengabaikan atau menunda pelaksanaan putusan pengadilan yang sah. Diperlukan mekanisme eksekusi yang lebih efektif dan sensitif, serta penegakan hukum yang tegas terhadap pihak yang tidak mematuhi putusan pengadilan demi kepastian hukum dan perlindungan hak anak.
Ada beberapa faktor kompleks yang diduga menjadi penyebab mengapa eksekusi hak asuh anak Tsania Marwa tidak berjalan sesuai dengan putusan pengadilan yang telah memberikan hak asuh kepadanya. Faktor utama yang paling sering diberitakan adalah adanya penolakan dari Atalarik Syach untuk menyerahkan kedua anaknya kepada Tsania Marwa. Meskipun putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap, pihak yang kalah dalam sengketa hak asuh terkadang tidak bersedia melaksanakan putusan secara sukarela. Saat upaya eksekusi dilakukan, diduga ada hambatan fisik dan non-fisik di kediaman Atalarik Syach yang membuat proses penjemputan anak menjadi sulit. Hal ini bisa berupa penolakan langsung, tidak adanya respons, atau situasi lain yang menghalangi petugas eksekusi untuk menjalankan tugasnya. Meskipun putusan hak asuh telah inkracht, pihak Atalarik Syah mungkin saja melakukan upaya hukum lain di luar pokok perkara hak asuh yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi atau menghambat proses eksekusi. Namun, perlu ditekankan bahwa upaya hukum baru tidak secara otomatis menunda pelaksanaan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Beberapa pihak mungkin berpendapat bahwa proses eksekusi yang dilakukan kurang tegas atau tidak memiliki strategi yang efektif untuk mengatasi penolakan dari pihak Atalarik Syah. Eksekusi hak asuh anak memerlukan koordinasi yang baik antara pihak pengadilan, kepolisian, dan mungkin melibatkan ahli psikologi anak. Kasus ini juga sempat menyoroti kompleksitas interpretasi dan penerapan hukum terkait hak anak dan kewajiban orang tua setelah perceraian, termasuk potensi implikasi pidana jika ada unsur menghalangi pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam kasus Tsania Marwa, dasar hukum yang paling relevan untuk memperjuangkan pelaksanaan hak asuh yang telah diputuskan adalah hukum perdata mengenai eksekusi putusan pengadilan. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jawa Barat yang memberikan hak asuh kepada Tsania Marwa adalah putusan yang sah dan berkekuatan hukum tetap, sehingga wajib dilaksanakan. Ketidakpatuhan Atalarik Syach membuka jalan bagi Tsania Marwa untuk menggunakan mekanisme eksekusi melalui Pengadilan Agama Cibinong. Meskipun potensi penerapan hukum pidana ada, terutama Pasal 330 KUHP, implementasinya dalam kasus sengketa hak asuh anak antar orang tua kandung sangat rumit dan seringkali menjadi perdebatan hukum. Fokus utama upaya hukum Tsania Marwa adalah pada penegakan putusan perdata melalui mekanisme eksekusi.
Dengan demikian, dasar hukum atas ketidaksesuaian antara putusan hak asuh dan eksekusinya dalam kasus Tsania Marwa terutama terletak pada adanya putusan perdata yang tidak dilaksanakan oleh pihak yang kalah, yang memberikan hak kepada pihak yang menang untuk menuntut pelaksanaan putusan tersebut sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku. Dalam situasi seperti kasus Tsania Marwa, fokus utama upaya hukum idealnya tetap pada pelaksanaan putusan perdata. Mekanisme eksekusi di Pengadilan Agama harus diupayakan semaksimal mungkin. Sementara upaya hukum pidana dapat dipertimbangkan, penerapannya dalam konteks sengketa hak asuh seringkali rumit dan tidak selalu menjadi solusi tercepat untuk mendapatkan hak asuh, jika Tsania Marwa memiliki bukti kuat bahwa Atalarik Syach secara tanpa hak merampas atau menahan anak dan memenuhi unsur-unsur pidana dalam Pasal 330 KUHP, upaya hukum pidana dapat dilanjutkan. Penting bagi Tsania Marwa untuk terus berkonsultasi dengan kuasa hukumnya untuk menentukan strategi yang paling tepat dan efektif sesuai dengan perkembangan situasi dan bukti-bukti yang ada. Kasus ini menggarisbawahi perlunya mekanisme eksekusi putusan hak asuh anak yang lebih efektif dan sensitif terhadap kepentingan terbaik anak. Pengadilan Agama memiliki kewenangan untuk memerintahkan eksekusi secara paksa jika pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan putusan secara sukarela. Bantuan dari pihak kepolisian atau psikolog anak mungkin diperlukan dalam proses eksekusi untuk meminimalkan dampak negatif pada anak.
Kesimpulan
Dalam kasus Tsania Marwa dan Atalarik Syach adalah bahwa putusan Pengadilan Agama yang memberikan hak asuh kepada Tsania Marwa seharusnya dilaksanakan. Kendala dalam eksekusi menunjukkan adanya permasalahan dalam penegakan hukum terkait hak asuh anak. Meskipun kepentingan terbaik anak harus dipertimbangkan, hal ini tidak seharusnya menjadi alasan untuk mengabaikan atau menunda pelaksanaan putusan pengadilan yang sah. Diperlukan mekanisme eksekusi yang lebih efektif dan sensitif, serta penegakan hukum yang tegas terhadap pihak yang tidak mematuhi putusan pengadilan demi kepastian hukum dan perlindungan hak anak. Singkatnya, kasus Tsania Marwa adalah cerminan dari permasalahan penegakan hukum hak asuh anak di Indonesia yang memerlukan perhatian lebih serius dari aparat penegak hukum, pembuat kebijakan, dan masyarakat secara luas demi terciptanya sistem hukum keluarga yang lebih adil dan efektif dalam melindungi hak anak dan orang tua.