Wina Marliyana
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Pamulang
Sengketa lahan di kawasan permukiman bukanlah hal yang asing dalam dinamika hukum pertanahan di Indonesia. Salah satu kasus yang mencuat adalah konflik di Cluster Setia Mekar Residence 2, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi. Persoalan ini melibatkan warga, pengembang, dan pihak ketiga yang mengklaim kepemilikan atas lahan tersebut, sehingga memunculkan pertanyaan mengenai keabsahan Sertipikat hak milik (SHM) yang dimiliki oleh para penghuni.
Sengketa ini berawal dari klaim pihak ketiga yang menyatakan bahwa lahan yang saat ini menjadi Cluster Setia Mekar Residence 2 masih dalam status sengketa hukum. Padahal, sebelumnya telah ada akta perdamaian yang disepakati pada tahun 2002, yang menjadi dasar terbitnya sertifikat nomor 705. Akta ini mengangkat sita jaminan atas lahan tersebut, memungkinkan peralihan hak dan pemecahan perumahan yang dilakukan oleh pengembang.
Pengembang kemudian memecah SHM nomor 705 menjadi 27 bidang tanah, yang dijual kepada konsumen antara tahun 2020 hingga 2024. Transaksi dilakukan dengan melibatkan notaris dan Badan Pertanahan Nasional (BPN), sehingga para penghuni merasa telah memiliki legalitas yang sah atas rumah mereka.
Namun, munculnya klaim baru dan rencana eksekusi lahan oleh pihak ketiga berdasarkan putusan pengadilan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para penghuni yang telah memiliki SHM.
Dalam hukum pertanahan Indonesia, sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan oleh BPN merupakan bukti kuat kepemilikan. Namun, sertifikat tersebut dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan jika terbukti terdapat cacat administrasi atau sengketa hak atas tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa sertifikat merupakan alat bukti yang kuat, tetapi tidak mutlak. Jika ada pihak lain yang dapat membuktikan hak atas tanah tersebut, sertifikat dapat dibatalkan.
Dalam kasus ini, meskipun para penghuni memiliki SHM, klaim dari pihak ketiga yang didukung oleh putusan pengadilan menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini menunjukkan perlunya verifikasi mendalam terhadap riwayat tanah dan proses penerbitan sertifikat.
Analisis Normatif Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan
- UUPA dan Prinsip Kepastian Hukum
Landasan hukum utama dalam hukum pertanahan Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 19 UUPA menegaskan bahwa untuk menjamin kepastian hukum, pemerintah akan menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam Pasal 32 ayat (1), disebutkan bahwa sertifikat merupakan alat bukti yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis selama tidak dibuktikan sebaliknya di pengadilan.
- Tumpang Tindih Sertifikat: Kelemahan Administrasi Pertanahan
Tumpang tindih sertifikat seringkali terjadi akibat kesalahan dalam proses pendaftaran tanah, termasuk verifikasi data fisik dan yuridis. Menurut Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997, pihak yang memperoleh hak atas tanah secara itikad baik dan nyata menguasai fisik tanah selama lima tahun atau lebih, dilindungi hukum dan tidak dapat diganggu gugat, kecuali dibuktikan ada itikad buruk atau cacat prosedur dalam penerbitan sertifikat.
- Perlindungan terhadap Pembeli Beritikad Baik
Putusan Mahkamah Agung Nomor 2642 K/Pdt/2008 menegaskan bahwa pembeli yang membeli tanah berdasarkan sertifikat yang sah dan secara fisik menguasai tanah tersebut secara nyata selama bertahun-tahun, maka ia dapat dianggap sebagai pembeli beritikad baik yang harus dilindungi hukum.
- Sertifikat Tidak Absolut
Meskipun sertifikat tanah memberikan kepastian hukum, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 35/PUU-X/2012 menegaskan bahwa sertifikat bukan merupakan bukti hak yang absolut. Jika kemudian terbukti ada cacat hukum atau adanya hak orang lain yang dilanggar dalam proses penerbitannya, maka sertifikat tersebut dapat dibatalkan melalui mekanisme hukum.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan hak kepada konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar dan perlindungan dari praktik yang merugikan. Jika terbukti pengembang melakukan pembangunan di atas lahan yang statusnya belum bersih dan bebas, maka hal tersebut dapat menjadi pelanggaran hukum dan membuka ruang tuntutan ganti rugi. Selain itu, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 15 Tahun 2021 tentang Koordinasi Penyelenggaraan Penataan Ruang mengatur tentang pentingnya koordinasi dalam penataan ruang, termasuk dalam pengembangan perumahan.
Jika pihak pengembang atau pembeli memperoleh hak atas tanah tersebut melalui prosedur yang benar dan menguasai fisik tanah secara nyata, maka mereka patut dilindungi berdasarkan ketentuan Pasal 32 PP 24/1997. Sebaliknya, jika terbukti ada cacat dalam prosedur penerbitan sertifikat atau ada pihak lain yang memiliki hak lebih dahulu yang tidak pernah dilepaskan, maka sertifikat bisa dibatalkan sesuai mekanisme peradilan.
Sejalan dengan pendapat Maria S.W. Sumardjono, pakar hukum agraria, bahwa “keberadaan sertifikat bukanlah satu-satunya penentu sah tidaknya hak atas tanah; namun juga harus dilihat proses terbitnya dan riwayat tanah tersebut.” Maka pendekatan hukum dalam kasus ini tidak bisa hanya mengandalkan dokumen formal, tetapi juga memeriksa fakta-fakta yuridis dan historis tanah yang disengketakan.
Penting bagi semua pihak, baik pemerintah, pengembang, maupun masyarakat, untuk menjadikan prinsip kehati-hatian dalam setiap transaksi pertanahan dan meningkatkan kualitas administrasi pertanahan. Sengketa di Cluster Setia Mekar Residence 2 menunjukkan kompleksitas masalah pertanahan di Indonesia, di mana tumpang tindih kepemilikan dan putusan pengadilan dapat menyebabkan konflik berkepanjangan. Diperlukan transparansi dan koordinasi antara pengembang, pemerintah, dan masyarakat untuk memastikan kepastian hukum dan perlindungan hak-hak konsumen.