Keabsahan Jual Beli Hak Atas Tanah Berdasarkan Hukum Adat

Evi Oktavia Simangunsong

Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Pamulang

Keberadaan tanah tidak terlepas dari kehidupan manusia, sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Kebutuhan akan tanah dewasa ini semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk,jumlah badan usaha, dan meningkatnya kebutuhan lain yang berkaitan dengan tanah. Tanah tidak saja sebagai tempat bermukim, tempat untuk bertani, tetapi juga dipakai sebagai jaminan mendapatkan pinjaman bank, untuk keperluan jual beli dan sewa menyewa.

Pengertian jual beli tanah menurut UUPA didasarkan pada konsep dan pengertian jual beli menurut hukum adat. Dalam hukum adat Batak Toba, tentang jual beli tanah dikenal empat macam yaitu:

  1. Manggadis pate (Jual Lepas) Pemilik tanah menyerahkan tanahnya untuk selama-lamanya kepada pihak lain (pembeli) dengan pembayaran sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan antara pemilik tanah dengan pihak lain (pembeli).
  1. Dondon/Sindor (Jual Tahunan)Pemilik tanah pertanian menyerahkan tanahnya untuk digarap dalam beberapa kali masa panen kepada pihak lain(pembeli) dengan pembayaran sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan antar pemilik tanah dengan pembeli. Setelah beberapa kali masa panen sesuai kesepakatan kedua belah pihak, tanah pertanian diserahkan kembali oleh pembeli kepada pemilik tanah.
  2. Marlibe (Tukar Tempat Tanah) Sesama pemilik tanah menukarkan tanahnya untuk selama-lamanya atas dasar kesepakatan kedua belah pemilik tanah.

Menurut hukum adat yang berlaku dalam masyarakat adat Batak Toba di lokasi penelitian bahwa setiap peralihan tanah seperti jual beli, hibah, pewarisan, sewa menyewa tanah dilakukan terhadap orang yang berumah tangga (telah kawin). Contohnya hibah berupa pauseang, gadai atau dondon tua diberikan pada saat melangsungkan upacara adat perkawinan.Sedangkan panjaean diberikan setelah berumah tangga (setelah kawin).

Demikian juga dalam hal pewarisan terhadap anak yang belum genap 21 tahun atau belum kawin, tanah warisan tidak dapat dialihkan. Sebagaimana keterangan dari warga masyarakat Desa Simangulampe, D.Banjarnahor mengatakan : bahwa pada tahun 2010 usia saya masih 19 (sembilan belas) tahun dan saya meminta tanah warisan milik almarhum bapak saya yang berada dalam kekuasaan abang (bukan kandung), katanya bahwa tanah tersebut baru bisa diberikan apabila telah berusia 21 tahun atau telah berumah tangga, demi kembalinya tanah tersebut, saya pun menikah pada usia 19 (sembilan belas) tahun dan akhirnya tanah tersebut dapat kembali kepada kami (saya dan adek) ahli waris almarhum.

Timbulnya sengketa tanah adat tidak terlepas dari sifat agraris negara Indonesia. Bagi negara Indonesia sebagai negara agraris, tanah merupakan kebutuhan vital. Sengketa akan terjadi manakala ada dua kepentingan yang saling berbenturan yang tidak dapat disatukan, hanya saja tidak semua sengketa harus diselesaikan melalui pengadilan.

Sengketa tanah dapat terjadi karena pada masa dahulu para nenek moyang ketika berurusan dengan tanah (misalnya mendirikan rumah untuk anaknya ketika anaknya menikah, menggadaikan, dan lain sebagainya) di kampung halaman atas tanah yang masih berstatus tanah adat tidak memakai surat-surat dan tidak menuangkannya dalam bentuk tulisan, sehingga di kemudian hari para ahli warisnya kemudian menjadi bersitegang atau konflik karena memperebutkan lahan yang mereka rasa adalah milik dari leluhurnya tersebut. Hal ini dapat terjadi, karena hukum adat mengenal hak milik sebagai hak yang terkuat di antara hak-hak perorangan dan merupakan bagian dari pelaksanaan hak ulayat. Hak milik tersebut didapat dari jalan membuka lahan, hak mewaris pada seseorang atau melalui pengalihan hak (misalnya pembelian, penukaran, hibah maupun wakaf), penunjukan rapat desa yang dalam hal pelaksanaannya dibatasi oleh hak ulayat, dan lainnya. Namun demikian, hak yang diperoleh lewat pengalihan hak tersebut dapat pula diwariskan kepada para ahli warisnya.

Dalam tradisi Batak Toba penyelesaian konflik/sengketa tanah adat diselesaikan dengan hukum adat Batak Toba yaitu dengan musyawarah untuk mencapai mufakat antar sesama keluarga seiringan dengan makan bersama yang didampingi dan disaksikan oleh tokoh adat dan kepala desa, setelah itu mereka masing-masing menunjukkan dimana letak atau batas tanah adat itu berada terus dibuatlah patok berupa besi atau pipa air yang sudah berisi semen. Kemudian mereka sepakati hasil dari musyawarah untuk mencapai mufakat lokasi mereka tinjau dibuat oleh tokoh adat dengan menanda tangani surat pernyataan dihadapan tokoh adat, kepala desa dan masyarakat setempat. Disitulah penyelesaian sengketa tanah adat selesai secara hukum adat batak toba.

Dalam hal ini, penyelesaian dilakukan dengan cara kekeluargaan yaitu dengan melakukan pertemuan antara para pihak yang bersengketa dengan duduk bersama untuk bermufakat, antara ketiga unsur Dalihan Natolu yaitu pihak Dongan Tubu (Dongan Sabutuha), Pihak Boru dan Pihak Hula-Hula, beserta Raja Hata yang berasal dari ketiga unsur diatas sebagai perwakilan untuk menyampaikan pendapat mereka. Biasanya mereka juga mengundang Kepala Desa sebagai pihak yang mengetahui adanya sengketa. Mereka kemudian membicarakan masalah ini bersama- sama, Kepala Desa kemudian mendengar keterangan dari kedua belah pihak yang bersengketa lalu memberi penilaian masing-masing, serta saran dan kritik terhadap permasalahan tersebut. Siapapun yang berkedudukan sebagai ahli waris yang sah, atau pihak yang merasa berkepentingan wajib memperlihatkan tanda bukti yang sah dan kuat untuk digunakan oleh mereka sebagai dasar perdamaian. Tanda bukti yang sah antara lain bukti surat tanah Kepala Desa (siapapun yang berhak mengeluarkan status tanah), Surat Keterangan Hak Waris (SKHW), Surat Keterangan Ahli Waris (SKAW), Surat Keterangan Gadai, maupun bukti lain yang dapat dipertanggung jawabkan. Berdasarkan tanda bukti yang dimiliki salah satu pihak tersebut, maka raja hata bersama kepala desa kemudian dapat mengambil putusan siapa yang lebih berhak atas kepemilikan hak atas tanah tersebut, lalu diadakan langkah perdamaian oleh unsur dalihan natolu terhadap para pihak yang bersengketa. Dengan dasar alat bukti tersebut, maka pihak yang berkepentingan dan memiliki alat bukti kepemilikan hak atas tanah tersebut statusnya lebih kuat sehingga sengketa yang terjadi lebih mudah didamaikan oleh Mediator dalam proses penyelesaiannya.

Dalam hal ini, para pihak yang bertikai punya prinsip bahwa perdamaian harus menjadi tujuan satu-satunya dari dilakukannya musyawarah tersebut sehingga mediator harus mengupayakan sedemikian rupa untuk dapat mewujudkannya. Jika tidak, maka mediator dapat bersikap tegas terhadap pihak yang tidak mau mengalah dan tetap tidak mau memaafkan pihak lawan, serta tetap bersikukuh pada pendiriannya walaupun pendiriannya tersebut ternyata kurang tepat untuk tetap dipertahankan pada kondisi dan situasi tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *