Sengketa Lahan

Galang Wijayanto

Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Pamulang

Putusan dan Implikasi Hukum atas Sengketa Tanah dalam Pengadaan Jalan Tol.

Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 261/Pdt.G/2025/PN.Tng atas sengketa tanah mendiang Mat Solar memberikan preseden penting dalam menegaskan relasi antara kepemilikan tanah secara substantif dan formalitas administratif dalam konteks pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Meski nama dalam sertifikat masih tercatat atas nama pihak lain (Muhammad Idris), pengadilan mempertimbangkan penguasaan fisik dan bukti jual beli sebagai dasar hak yang sah atas tanah tersebut.

Sengketa bermula saat uang ganti rugi sebesar Rp 3,3 miliar dibayarkan oleh negara atas tanah yang terkena pembangunan jalan tol. Kedua belah pihak—pihak Mat Solar dan Muhammad Idris—sama-sama mengklaim sebagai pemilik sah. Pengadilan mendorong penyelesaian lewat mediasi, yang berujung pada akta perdamaian (dading) dengan pembagian ganti rugi 70% untuk keluarga Mat Solar dan 30% untuk Idris.

Dasar Hukum dan Analisis Normatif

Hak atas Tanah dan Bukti Kepemilikan

Dalam hukum agraria nasional, hak atas tanah tidak hanya ditentukan oleh sertifikat sebagai alat bukti terkuat (vide Pasal 32 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria), tetapi juga oleh penguasaan nyata dan perbuatan hukum yang sah.

Pasal 32 ayat (1) UUPA: Sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya.

Namun demikian, Mahkamah Agung dalam berbagai yurisprudensinya mengakui bahwa seseorang yang telah membeli dan menguasai tanah dalam waktu lama, walaupun belum melakukan balik nama, tetap dapat dilindungi haknya sepanjang dapat membuktikan acta jual beli dan penguasaan yang terus-menerus.

Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

Merujuk pada Pasal 1 angka 2 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, disebutkan bahwa yang berhak atas ganti rugi adalah pihak yang “memiliki hak atas tanah”. Lebih lanjut dalam Pasal 36 ayat (1) disebutkan:

“Pihak yang berhak diberikan ganti kerugian atas tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah dan/atau kerugian lainnya”

Pihak yang dapat menunjukkan bukti penguasaan dan perolehan yang sah atas tanah juga dapat dimaknai sebagai pihak yang berhak.

Akta Perdamaian (Dading) dalam Hukum Perdata

Proses penyelesaian perkara ini menggunakan mekanisme perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 1851 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa:

 “Dading yang dilakukan di depan hakim dan dicatat dalam akta memiliki kekuatan hukum tetap dan tidak dapat diganggu gugat kecuali atas dasar cacat kehendak.”

Dengan demikian, akta perdamaian memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan berkekuatan hukum tetap.

Implikasi

Putusan ini menggambarkan bahwa hukum perdata, khususnya hukum tanah, tidak semata-mata berlandaskan dokumen formal, tetapi juga harus melihat fakta sosial dan perbuatan hukum nyata. Hakim dalam perkara ini menunjukkan pendekatan yang progresif dan restoratif, yang relevan dengan kondisi masyarakat di mana tidak semua transaksi tanah selesai secara administratif.

Secara normatif, putusan ini memperkuat prinsip bahwa: Penguasaan fisik yang sah dan bukti jual beli merupakan dasar hukum yang kuat. Penyelesaian sengketa melalui akta perdamaian memberikan kepastian hukum dan efisiensi. Negara, dalam konteks pengadaan tanah, wajib mempertimbangkan hak substantif, bukan semata hak administratif.

Pembangunan infrastruktur jalan tol merupakan salah satu prioritas pemerintah untuk mendukung kemajuan ekonomi dan mobilitas. Namun, proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum sering kali menimbulkan permasalahan hukum, seperti yang terjadi dalam sengketa tanah Mat Solar yang kini dijadikan jalan tol. Kasus ini mengundang perhatian publik karena adanya klaim atas kepemilikan tanah oleh Mat Solar yang tidak diakui dalam proses pengadaan.

Tanah yang Diklaim oleh Mat Solar

Mat Solar mengklaim bahwa tanah yang kini digunakan untuk jalan tol adalah miliknya berdasarkan sertifikat yang sah. Jika benar demikian, maka tanah tersebut memiliki status hukum yang jelas sebagai milik pribadi. Berdasarkan prinsip hukum agraria di Indonesia, tanah milik pribadi tidak bisa sembarangan diambil untuk proyek umum tanpa mengikuti prosedur hukum yang tepat.

Prosedur Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, negara memiliki hak untuk mengambil alih tanah untuk kepentingan pembangunan, asalkan melalui prosedur yang sah. Prosedur ini mencakup:

Identifikasi tanah yang akan dibebaskan.

Konsultasi publik dengan pemilik tanah.

Ganti rugi yang layak bagi pemilik tanah sesuai dengan nilai pasar atau nilai yang disepakati.

Jika prosedur ini tidak diikuti dengan benar, maka pengambilalihan tanah tersebut bisa dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar hukum, yang berpotensi merugikan pihak yang merasa kehilangan hak atas tanahnya.

Masalah Hukum yang Muncul

Dalam hal ini, jika Mat Solar tidak menerima ganti rugi yang sesuai atau merasa tanahnya diambil tanpa prosedur yang sah, ia berhak untuk mengajukan gugatan di pengadilan. Berdasarkan hukum Indonesia, jika tanah diambil tanpa persetujuan atau tanpa kompensasi yang sesuai, maka tindakan tersebut bisa dianggap sebagai perampasan hak. Oleh karena itu, penting bagi pihak pemerintah atau pihak yang bertanggung jawab atas proyek tol untuk memastikan bahwa setiap proses pengadaan tanah berjalan dengan transparan dan sesuai dengan aturan yang berlaku.

 

Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan

Pemilik tanah, dalam hal ini Mat Solar, dapat mengajukan beberapa upaya hukum, antara lain:

Gugatan Perdata terhadap pihak yang dianggap telah mengambil tanahnya tanpa prosedur yang sah.

Mengajukan keluhan kepada Ombudsman jika ada dugaan maladministrasi dalam proses pengadaan tanah.

Mengajukan sengketa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika ada keputusan pemerintah yang merugikan haknya.

Pentingnya Kepastian Hukum

Sengketa ini menggambarkan pentingnya kepastian hukum dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan. Negara harus memastikan bahwa hak-hak warga negara terlindungi dan proses pembebasan tanah dilakukan dengan transparansi, keadilan, dan kompensasi yang sesuai. Tanpa adanya mekanisme yang tepat, pengambilalihan tanah dapat menimbulkan ketidakpuasan masyarakat dan merusak kepercayaan terhadap pemerintah.

 

Kesimpulan

Sengketa tanah Mat Solar yang dijadikan jalan tol ini menggarisbawahi perlunya perhatian serius terhadap proses pengadaan tanah yang melibatkan hak atas tanah pribadi. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap proses dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku, dengan memberikan ganti rugi yang layak bagi pemilik tanah yang terpaksa melepaskan haknya demi kepentingan umum. Ke depannya, transparansi dan keadilan dalam pengadaan tanah harus menjadi prioritas utama agar tidak terjadi sengketa serupa di masa mendatang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *