Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak Dengan Perjanjian Kerja Kemitraan Menurut Hukum Ketenagakerjaan Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak

Akbar Saputra

Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Pamulang

Dunia ketenagakerjaan menjadi faktor yang cukup penting bagi proses pembangunan nasional Indonesia sebab tenaga kerja menjadi penggerak roda suatu kegiatan di bidang usaha sehingga tanpa adanya tenaga kerja sendiri sebuah bisnis tidak mampu melakukan kegiatan usaha lancar. Di luar aktivitas usaha yang menjadi pilar utama dalam pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja memiliki peran sentral dalam struktur perekonomian Indonesia. Sebagai elemen yang tidak terpisahkan dari sistem produksi dan konsumsi, tenaga kerja berfungsi tidak hanya sebagai pelaku dalam proses ekonomi, tetapi juga sebagai motor penggerak utama yang mendukung stabilitas dan keberlanjutan pembangunan nasional. Dalam konteks ini, tenaga kerja tidak semata-mata dilihat sebagai faktor produksi, .melainkan juga sebagai subjek hukum yang hak-haknya harus dilindungi dan diberdayakan sesuai dengan prinsip keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pengaturan mengenai ketenagakerjaan di Indonesia tertuang pada UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Peraturan ini menjadi landasan hukum utama dalam mengatur hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja, termasuk hak dan kewajiban kedua belah pihak. UU ini juga mencakup ketentuan mengenai perlindungan tenaga kerja, pengupahan, hubungan industrial, hingga pengembangan kompetensi pekerja untuk memastikan terpenuhinya hak-hak dasar tenaga kerja sekaligus mendorong produktivitas dan kesejahteraan mereka. Walaupun demikian, permasalahan ketenagakerjaan masih sering ditemukan di Indonesia, seperti rendahnya kesadaran perusahaan dalam memenuhi kesejahteraan para pekerja.

Di dalam dunia pekerjaan, seringkali terjadi pemutusan hubungan kerja secara sepihak atau yang biasa dikenal dengan PHK sepihak. Adapun definisi dari PHK sendiri, yaitu suatu keadaan dimana terjadi pengakhiran hubungan kerja antara pekerja dari suatu perusahaan maupun pengusaha dengan alasan tertentu.

Meski upaya menghindari PHK telah dilakukan melalui berbagai langkah strategis dan negosiasi, fakta di lapangan menunjukkan PHK terkadang menjadi langkah yang tidak terelakkan. Di beberapa situasi, pemberi kerja dihadapkan pada kondisi sulit yang memaksa mereka untuk mempertimbangkan langkah tersebut sebagai jalan terakhir. Hal ini sering kali dilakukan dengan tujuan utama menjaga kelangsungan operasional perusahaan agar tetap bertahan dalam menghadapi tekanan ekonomi atau tantangan bisnis yang signifikan. Keputusan ini, meskipun berat, biasanya diambil setelah seluruh alternatif lain untuk menyelamatkan tenaga kerja maupun usaha telah dieksplorasi secara maksimal.

Di Indonesia permasalahan PHK secara sepihak sudah menjadi topik umum, karena seringkali terjadi. Contoh nyata dari adanya permasalahan ketenagakerjaan tersebut, yaitu kasus pada Putusan Nomor 456/PDT.Sus-PHI/2021/PN Mdn. Kasus ini merupakan perselisihan antara perusahaan dengan karyawan yaitu Jhondra dan PT Belawan Indah. Di dalam perusahaan tersebut Jhondra bekerja sebagai sopir mobil berat. Jhondra sudah bekerja selama 20 tahun di perusahaan tersebut dan memperoleh upah bulanan sebesar Rp 3.222.556 yang sudah disesuaikan dengan upah minimum di daerah tersebut. Hubungan kerja yang dijalin antara Jhondra dan PT Belawan Indah didasarkan pada perjanjian secara lisan yang terjalin yang dilakukan secara verbal dan meliputi aspek, tanggung jawab, hak, dan kewajiban dari masing-masing pihak. Perjanjian tersebut dibuat tanpa tertulis dan dilakukan hanya secara verbal, sehingga hubungan keduanya dilandasi oleh kepercayaan dan profesionalitas dalam bekerja. Tentu menimbulkan polemik mengingat di hukum perdata terdapat prinsip kebebasan berkontrak berdasar Pasal 1338 KUHPerdata yang menegaskan hak setiap individu untuk membuat perjanjian yang sah, asalkan isi maupun tujuan dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum, nilai kesusilaan, maupun prinsip ketertiban umum. Ketentuan ini mengandung asas kebebasan berkontrak, yang pada dasarnya memberi keleluasaan kepada para pihak untuk merancang dan menyusun perjanjian yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka masing-masing. Dalam kerangka ini, kebebasan tersebut memungkinkan terciptanya hubungan kemitraan yang didasarkan pada prinsip kesetaraan dan kesepahaman, di mana para pihak memiliki kedudukan yang sejajar dan saling sepakat dalam mengejar tujuan bersama.

Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur secara spesifik situasi-situasi yang menyebabkan berakhirnya perjanjian kerja, yaitu: pertama, ketika pekerja meninggal dunia; kedua, apabila jangka waktu perjanjian kerja telah berakhir sesuai dengan yang telah disepakati; ketiga, apabila terdapat putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap; dan keempat, apabila terjadi keadaan atau peristiwa tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian kerja yang menyebabkan hubungan kerja berakhir. PHK dapat dilakukan oleh pengusaha melalui pengadilan apabila terdapat perselisihan. Terdapat beberapa jenis mengenai pemutusan hubungan kerja yaitu

  1. PHK oleh pengusaha menjadi isu krusial dalam relasi kerja. Baik dari sisi regulasi maupun praktiknya, PHK oleh pemberi kerja sering kali dipandang sebagai sumber potensi konflik serius antara pengusaha dan pekerja. Pada dasarnya, PHK yang dilakukan oleh perusahaan tidak selalu menyebabkan masalah apabila pengusaha memenuhi seluruh kewajibannya. Namun, dalam praktiknya, pengusaha terkadang berusaha menghindari tanggung jawabnya terkait PHK yang dilakukan secara sepihak;
  2. PHK oleh seorang pekerja yang hendak mengakhiri hubungan kerjanya, ia wajib menyampaikan keinginannya untuk mundur satu bulan sebelumnya. Jika pekerja meninggalkan pekerjaannya tanpa pemberitahuan, tindakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran hukum;
  3. PHK Batal Demi Hukum yang dimana hubungan kerja secara otomatis dianggap batal apabila pekerja meninggal dunia. Namun, jika yang meninggal adalah pemberi kerja, hubungan kerja tersebut tidak otomatis batal.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak kerap kali menghadirkan tantangan berat bagi pekerja yang terdampak. Kondisi ini menciptakan ketidakpastian bagi mereka karena harus segera mencari alternatif pekerjaan di perusahaan lain, yang tidak selalu mudah di tengah persaingan pasar tenaga kerja. Tidak hanya berdampak pada aspek sosial dan ekonomi, PHK juga membawa konsekuensi hukum yang signifikan. Dalam konteks hukum ketenagakerjaan, pengusaha memiliki kewajiban untuk memberikan kompensasi berupa pesangon kepada pekerja yang diberhentikan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pendapat Soeroso memperkuat pandangan ini dengan menjelaskan bahwa akibat hukum merupakan dampak dari tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu yang diinginkan oleh pelaku, di mana tindakan tersebut diatur oleh hukum. Dengan demikian, tindakan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai tindakan hukum yang membawa konsekuensi tertentu. Secara spesifik, Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa pekerja yang terkena PHK berhak atas pesangon, uang penghargaan masa kerja, serta uang penggantian hak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi pekerja, sekaligus menjadi bentuk tanggung jawab pengusaha atas keputusan sepihak yang diambilnya.

Alasan di balik PHK berpengaruh dalam menentukan pekerja untuk hak menerima uang pesangon, penghargaan, dan penggantian hak. Ketentuan terkait hal ini diatur dalam Pasal 156 dan Pasal 160-169 UU Ketenagakerjaan. Besaran uang pesangon yang diatur dalam Pasal 156 ayat (2) UndangUndang Ketenagakerjaan adalah Pekerja yang masa kerjanya kurang dari satu tahun berhak atas pesangon sebesar satu bulan gaji. Bagi pekerja dengan masa kerja antara satu hingga kurang dari dua tahun, pesangon yang diberikan setara dengan dua bulan gaji. Untuk pekerja yang telah bekerja selama dua tahun namun kurang dari tiga tahun, pesangon yang diterima adalah sebesar tiga bulan gaji.

Bagi mereka yang memiliki masa kerja tiga hingga kurang dari empat tahun, pesangonnya sebesar empat bulan gaji. Selanjutnya, pekerja dengan masa kerja antara empat hingga kurang dari lima tahun berhak atas pesangon setara lima bulan gaji, sementara pekerja dengan masa kerja lima hingga kurang dari enam tahun akan menerima pesangon sebesar enam bulan gaji. Mereka yang bekerja antara enam hingga kurang dari tujuh tahun memperoleh pesangon sebesar tujuh bulan gaji, sedangkan pekerja yang masa kerjanya tujuh hingga kurang dari delapan tahun berhak atas pesangon sebesar delapan bulan gaji. Untuk pekerja dengan masa kerja delapan tahun atau lebih, besaran pesangon yang diterima adalah sembilan bulan gaji.

Pada umumnya perjanjian kemitraan yang dilakukan tetsebut sendiri mengandung klausula baku, sehingga para pihak yang membuat perjanjian kemitraan tersebut memiliki posisi yang lebih tinggi. Akibat hukum pada PHK sepihak yang didasarkan pada perjanjian kemitraan tersebut didasarkan pada kesepakatan antar pihak. Pemutusan hubungan terhadap perjanjian kemitraan disesuaikan dengan klausula yang terdapat perjanjian kemitraan tersebut, Sehingga pihak yang memutuskan hubungan secara sepihak tersebut dihukum sesuai dengan kesepakatan yang sudah dibuat pada awal perjanjian kemitraan. Perjanjian kemitraan mengandung klausula yang harus ditaati oleh kedua belah pihak. Perjanjian kemitraan bersifat mengikat dihadapan hukum, karena dibuat dan disepakati oleh kedua belah pihak. Apabila terdapat pelanggaran hukum yang diakibatkan oleh salah satu pihak, maka penyelesaian terhadap permasalahan tersebut disesuaikan dengan klausula yang terdapat pada perjanjian kemitraan.

Dapat disimpulkan bahwa dalam hal pemutusan hubungan kerja secara sepihak, perusahaan tidak memiliki kewenangan untuk bertindak secara sewenang-wenang. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan sepihak telah diatur dengan jelas dalam UU Ketenagakerjaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 156 ayat (1), perusahaan memiliki kewajiban untuk memberikan kompensasi kepada pekerja dalam bentuk uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak setelah terjadi pemutusan hubungan kerja. Perusahaan sebagai pemberi kerja bertanggung jawab untuk memberikan kompensasi yang menjadi hak pekerja tersebut agar pelaksanaan pemutusan hubungan kerja tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian kompensasi ini mencakup sejumlah pembayaran, seperti pesangon, uang pengganti masa kerja, serta uang penggantian hak lain yang mungkin ada dan perlu diberikan pasca pemutusan hubungan kerja. Selain itu, dalam kasus di mana hubungan kerja didasarkan pada perjanjian kerja tertentu dan terjadi pemutusan hubungan secara sepihak, maka dampak hukumnya akan bergantung pada isi klausul dalam perjanjian kemitraan yang telah disepakati oleh kedua pihak. Klausul tersebut menjadi acuan utama dalam menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak apabila terjadi pemutusan hubungan kerja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *