Hukum Perlindungan Konsumen dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Tio Budi Satriyo

Mahasiswa Fakultas Hukum (Universitas Pamulang)

Sebagai negara berkembang, Indonesia berusaha untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan berbagai cara. Salah satunya melalui Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement) yang isinya Indonesia membuka akses pasar tanpa dibatasi dengan komponen pungutan biaya ekspor atau impor. Selain itu, upaya percepatan investasi juga dilakukan oleh pemerintah dengan disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja. Pemerintah berupaya mempermudah iklim investasi agar Indonesia menjadi negara tujuan investasi peringkat empat di kawasan Asia Tenggara.

Seluruh upaya pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tersebut tentu menciptakan babak baru dalam ruang lingkup perdagangan bebas. Masyarakat kini dapat dengan mudah melakukan kegiatan perdagangan secara global. Produk yang diimpor oleh negara tetangga dengan harga yang sangat terjangkau di pasaran juga semakin mudah dicari.

Sayangnya, dinamika perdagangan bebas dan investasi yang didorong oleh pemerintah tidak disertai dengan perbaikan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Masyarakat sebagai konsumen semakin tergerus hak-haknya yang terdapat dalam Pasal 4 dari UUPK, seperti: hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya

Salah satu contoh permasalahan perlindungan konsumen dalam ruang lingkup perdagangan bebas dapat dilihat dari meningkatnya jumlah transaksi dalam platform e-commerce. Platform AliExpress sebagai contohnya. Perusahaan e-commerce yang merupakan anak perusahaan dari Alibaba dan berasal dari Cina ini menghubungkan produsen atau distributor dari Cina dengan konsumen dari Indonesia. Masyarakat seringkali tidak memahami bahwa tetap dibutuhkan dokumen pendukung atau terdapat biaya tambahan yang wajib dibayarkan kepada bea cukai ketika membeli barang di e-commerce tersebut. Akibatnya banyak sekali barang yang sudah dibeli konsumen ditahan oleh bea cukai. Konsumen ini tidak dapat meminta pengembalian dana karena permasalahan muncul dari pemerintah Indonesia alih-alih dari penjual. Konsumen tidak mendapatkan hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan karena nilai bea yang dikenakan oleh bea cukai Indonesia tentu tidak tersedia dalam platform e-commerce tersebut.

UUPK awalnya diciptakan sebagai pembatas atas relasi kuasa yang terjadi antara produsen dengan konsumen. Menurut Michael Foucault, di mana ada relasi di sana ada kekuasaan. Hal ini dirasakan oleh konsumen yang memiliki keterbatasan atas segala informasi, harga, serta spesifikasi atas produk berupa barang/jasa yang diperdagangkan. Dalam contoh permasalahan e-commerce di atas, konsumen sangat dibatasi kekuasaannya mulai dari oleh perusahaan e-commerce (proses pendaftaran konsumen wajib memberikan data-data pribadi tanpa ada perlindungan yang jelas atas pengelolaan data-data pribadi tersebut) hingga penyelesaian permasalahan sepihak dengan alasan kebijakan perusahaan. Kebijakan perusahaan yang digunakan sebagai aturan dalam penggunaan platform e-commerce merupakan bentuk relasi kuasa antara perusahaan e-commerce kepada penjual dan pembeli.

Kemudian pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan iktikad baik. L.J. van Apeldoorn mengemukakan kebebasan membuat kontrak merupakan konsekuensi dari pengakuan akan adanya hak milik. Hak milik itu sendiri merupakan realisasi yang utama dari kebebasan individu. Hak milik merupakan landasan bagi hak-hak lainnya. Hegel mengemukakan bahwa kebebasan berkehendak merupakan landasan yang substansial bagi semua hak dan kewajiban, sehingga mewarnai perundang-undangan dan moral. Pemegang hak milik harus menghormati orang lain yang juga pemegang hak milik.

Adanya saling menghormati inilah yang merupakan landasan terjadinya hukum kontrak.Oleh karena itu, para pihak tidak dapat menentukan sebebas-bebasnya terhadap klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian. Semua harus didasarkan dan dilaksanakan dengan iktikad baik dan tidak terjadi relasi kuasa antara pemerintah dan penyedia.

Perdagangan bebas memang memberikan dampak positif dan negatif bagi roda perekonomian negara. Namun, UUPK wajib untuk didudukan sebagaimana mestinya yang mendorong terjadinya perlindungan atas hak-hak konsumen agar dapat menimbulkan keadilan. UUPK merupakan upaya pemerintah untuk melindungi kedudukan konsumen yang berada dalam relasi kuasa subordinasiyaitu konsumen wajib mengikuti tata cara yang telah ditetapkan oleh produsen/distributor.

Berkaitan dengan ruang lingkup pengadaan barang/jasa pemerintah,Perpres Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah telah mendudukan bahwa pemerintah tidak dalam relasi kuasa subordinasi. Hal ini ditunjukkan bahwa meski penyedia wajib mengikuti tata cara pengadaan yang telah ditentukan oleh pemerintah, ada penyeimbang antara para pihak. Penghargaan atas penyedia dilakukan melalui penandatanganan kontrak/perjanjian pengadaan oleh para pihak yang telah disebutkan terlebih dahulu isi dari perjanjian melalui proses aanwijzing.

Oleh karena itu, tidak tepat bagi pemerintah untuk menggunakan UUPK sebagai payung hukum dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah melainkan seharusnya menggunakan Perpres Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Proses pengadaan barang/jasa pemerintah dimulai dengan penyedia mengikuti tata cara pengadaan yang diatur oleh pemerintah, kemudian relasi kuasa para pihak disejajarkan dengan mengikat dalam kontrak sebagai bentuk penghargaan atas hak kepemilikan penyedia. Prosedur ini telah mendudukkan relasi kuasa para pihak dalam kedudukan koordinasi bukan subordinasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *