MENEGUHKAN KEDAULATAN DI UJUNG NEGERI MELALUI OTORITAS PERBATASAN NASIONAL (OPN)

Dr. Bachtiar

Pengajar Hukum Tata Negara FH UNPAM – Pemerhati Kepemiluan

Wilayah perbatasan negara bukan sekadar garis demarkasi, tetapi merupakan beranda depan dari kedaulatan, identitas, dan martabat bangsa. Di kawasan inilah Republik Indonesia bersentuhan langsung dengan negara-negara tetangga, baik di darat maupun di laut. Oleh karena itu, keberadaan dan pengelolaan wilayah perbatasan harus merefleksikan kehadiran negara secara utuh, adil, dan berwibawa.

Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa realitas di lapangan menunjukkan pengelolaan wilayah perbatasan masih menghadapi tantangan yang kompleks dan berlarut. Tumpang tindak kewenangan antarlembaga, keterbatasan anggaran, Pembangunan infrastruktur yang timpang, serta lemahnya koordinasi lintas sektor menjadi problem utama yang terus berulang. Ketimpang ini bukan hanya persoalan administratif, tetapi menyangkut legitimasi negara di mata warga yang tinggal di wilayah perbatasan.

Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) sebagai aktor utama dalam tata kelola perbatasan hingga kini belum sepenuhnya mampu menjawab kompleksitas persoalan tersebut secara efektif. Padahal amanat konstitusi dan urgensi geopolitik menuntut adanya pengelolaan yang holistik, terintegrasi, dan adaptif terhadap dinamika sosial dan global.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita bicara secara serius dan menyeluruh tentang perlunya rekonstruksi kelembagaan dan kewenangan BNPP. Pendekatan tambal sulam dan teknokratis semata tidak lagi memadai. Diperlukan visi kebangsaan yang kuat untuk memastikan wilayah perbatasan bukan lagi zona marginal, tetapi menjadi halaman depan yang hidup, berkembang, dan bermartabat.

Problem kelembagaan

Secara teknis hukum, BNPP ditetapkan sebagai lembaga pemerintahan non-kementerian (LPNK) yang berada langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Perpres No. 12 Tahun 2010. Hal ini menegaskan posisinya sebagai lembaga strategis yang harus berdiri secara otonom dalam sistem pemerintahan. Namun dalam Pasal 6 aturan yang sama, ditetapkan bahwa Kepala BNPP dijabat oleh Menteri Dalam Negeri, yang berarti jabatan tersebut dirangkap (ex officio) oleh seorang menteri.

Hal ini menunjukkan adanya inkonsistensi antara desain kelembagaan dan pengaturan jabatan kepala. Desain yang demikian secara normatif menimbulkan kontradiksi karena sebagai LPNK, BNPP seharusnya memiliki kemandirian struktural dan operasional, tidak berada dalam garis komando Kementerian. Selain itu, pengangkatan Mendagri sebagai kepala BNPP menciptakan subordinasi yang tidak sejalan dengan asas otonom kelembagaan LPNK.

Dengan kata lain, BNPP seperti “bergerak dalam bayang-bayang” Kementerian, kehilangan independensi fungsional yang esensial bagi sebuah lembaga lintas sektor. Bahkan dapat dikatakan telah terjadi “subordinasi terselubung”. Di satu sisi, secara de jure, BNPP seolah berdiri langsung di bawah Presiden, namun di sisi lain, secara de facto, pengaruh Kemendagri sangat dominan, karena kepala BNPP adalah Mendagri; Sekretariat BNPP berada dalam struktur birokrasi Kemendagri; dan perencanaan serta penganggaran BNPP banyak tergantung pada kebijakan Kemendagri.

Ambiguitas ini menimbulkan problem mendasar dalam konteks tata kelola pemerintahan yang efektif dan efisien. Ketika BNPP hanya menjadi “perpanjangan tangan” Kemendagri, maka daya jelajah kelembagaannya untuk mengkoordinasikan lintas sektor menjadi terbatas. Padahal urusan perbatasan mencakup ranah multisectoral – mulai dari keamanan (TNI-Polri), hubungan luar negeri (Kemenlu), perdagangan lintas batas (Kemendag, Bea Cukai), pembangunan infrastruktur (Kementerian PUPR), hingga pemberdayaan masyarakat (Kementerian Desa). BNPP idealnya menjadi pusat gravitasi lintas Kementerian dalam Menyusun kebijakan pembangunan perbatasan yang terintegrasi.

Dalam praktinya, kewenangan BNPP masih bersifat administratif dan non-mandatory. Fungsi koordinatif yang diemban tidak disertai legal binding yang memaksa Kementerian/lembaga lain untuk mematuhi atau menyelaraskan program dan anggaranya. BNPP tidak memiliki otoritas untuk menegur Kementerian yang tidak menjalankan program prioritas perbatasan, dan tidak bisa langsung mengeksekusi pembangunan yang terfragmentasi di berbagai Kementerian.

Akibat dari kelemahan struktural ini, pelaksanaan pembangunan di wilayah perbatasan berjalan lambat, kurang terkoordinasi, dan kerap terjadi overlapping atau bahkan terjadi gaps dalam pelayanan dasar kepada masyarakat. Misalnya, infrastruktur jalan perbatasan dibangun oleh Kementerian PUPR, tetapi tidak dibarengi dengan pembangunan jaringan listrik oleh PLN, atau tidak sinkron dengan pembangunan pasar dan kawasan ekonomi oleh Kementerian teknis lain. Warga perbatasan kembali menjadi korban dari birokrasi yang berjalan sendiri-sendiri.

Lebih jauh, ketergantungan BNPP pada struktur Kemendagri juga menyebabkan lemahnya sense of urgency dalam mendorong percepatan pembangunan perbatasan sebagai program strategis nasional. Fungsi perencanaan dan penganggaran sering kali tidak mendapat tempat prioritas dalam pembahasan lintas Kementerian. BNPP pun tidak diberi alokasi anggaran yang cukup, apalagi keleluasaan dalam mendesain program terobosan untuk wilayah-wilayah yang sangat tertinggal dan rawan secara geopolitik.

Sementara itu, di sisi daerah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di wilayah perbatasan juga menghadapi dilema koordinatif karena tidak jelas siapa pemegang kendali kebijakan. Mereka harus berkoordinasi dengan BNPP, Kemendagri, Kementerian teknis, dan lembaga lain secara terpisah. Alhasil, efektivitas implementasi pembangunan perbatasan menjadi sangat rendah, dengan beban birokrasi yang tinggi.

Dalam konteks inilah, rekonstruksi kelembagaan BNPP menjadi sangat mendesak. Perlu ada reposisi kelembagaan yang menjadikan BNPP sebagai lembaga otoritatif dan independen dalam koordinasi lintas sektor, sekaligus diberikan kewenangan penganggaran dan pengawasan implementatif. Tanpa itu, BNPP akan terus berada di bawah bayang-bayang Kemendagri dan gagal memainkan peran strategis sebagai leading institution dalam pengelolaan perbatasan negara.

Pemisahan Kelembagaan Secara Penuh

Sudah saatnya pemerintah melakukan reposisi kelembagaan secara fundamental terhadap BNPP. Selama ini posisi BNPP sebagai lembaga pemerintah non-kementerian yang dipimpin oleh Mendagri secara ex officio telah menimbulkan dualisme fungsi, antara peran sebagai pelaksana kebijakan internal Kemendagri dan tanggung jawab strategis sebagai koordinator lintas sektor dalam pembangunan perbatasan negara. struktur seperti ini tidak hanya membatasi ruang gerak BNPP, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan memperlemah posisi tawarnya di hadapan Kementerian/lembaga lainnya.

Untuk itu, diperlukan langkah berani berupa pemisahan kelembagaan secara penuh, yakni BNPP harus dipimpin oleh seorang kepala setingkat Menteri, yang ditunjuk langsung oleh presiden, dan tidak merangkap jabatan di Kementerian manapun. Langkah ini akan memperkuat institutional authority BNPP dalam menjalankan mandatnya sebagai ujung tombak pengelolaan wilayah perbatasan secara menyeluruh dan berkelanjutan. Dengan status setingkat Menteri, Kepala BNPP akan memiliki posisi setara dalam forum kabinet maupun dalam proses pengambilan keputusan lintas sektor, bukan lagi sekadar “koordinator administratif” yang bergantung pada relasi informal.

Model semacam ini bukan tanpa preseden. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Pangan Nasional, misalnya, telah diberikan status lebih otonom dengan kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Bahkan, dalam konteks negara-negara dengan kompleksitas perbatasan tinggi seperti India dan Meksiko, otoritas pengelola perbatasan mereka beroperasi sebagai entitas independen yang memiliki wewenang perencanaan, pelaksanaan, hinga pengawasan lintas sektor, dengan alokasi anggaran yang jelas dan sumber daya manusia yang kompeten.

Dengan kepada setingkat Menteri, BNPP akan memiliki fleksibilitas yang lebih besar dalam melakukan policy bargaining dengan Kementerian teknis, megakses alokasi anggaran lintas sektor, serta memastikan sinergi dan kesinambungan program antara pusat dan daerah. Labih jauh, reformasi ini akan menjadi fondasi bagi penguatan fungsi operasional BNPP, dari yang semula hanya administratif menjadi lembaga dengan otoritas substantif – termasuk dalam aspek penyusunan rencana induk pembangunan perbatasan, pengawasan implementasi, dan pelaporan langsung kepada Presiden dan publik.

Pemisahan kelembagaan secara penuh juga merupakan bentuk pengakuan negara terhadap urgensi dan kompleksitas persoalan perbatasan, yang selama ini cenderung dilihat sebagai urusan pinggiran. Padahal dalam era geopolitik yang semakin dinamis, kawasan perbatasan adalah garda depan kedaulatan negara. Ia bukan hanya wilayah rawan konflik atau pelintas ilegal, tetapi juga ruang strategis yang menyimpan potensi ekonomi, hubungan luar negeri, dan identitas nasional.

Melalui restrukturisasi kelembagaan ini, BNPP dapat diposisikan sebagai lead agency yang tidak hanya mengkoordinasikan, tetapi juga mampu mengeksekusi program lintas sektor secara langsung. Langkah ini harus diiringi dengan revisi regulasi yang mengatur fungsi, struktur, dan kewenangan BNPP, baik melalui Peraturan Presiden maupun penguatan dalam bentuk Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Perbatasan.

Tanpa langkah afirmatif berupa pemisahan kelembagaan, BNPP akan terus berada dalam bayang-bayang Kementerian, kehilangan independensi strategis, dan gagal menjawab kompleksitas tantangan perbatasan yang semakin multidimensi. Pemisahan ini bukan soal ego sektoral, tetapi bagian dari penataan kelembagaan yang rasional demi memperkuat negara dari pinggiran.

Menuju Otoritas Perbatasan Nasional (OPN)

Keberadaan BNPP dinilai belum memadai dari sisi struktur, otoritas, maupun fleksibilitas operasional. Untuk menjawab tantangan ini, perlu dilakukan reformasi kelembagaan yang lebih progresif dan solutif melalui pembentukan entitas baru bernama Otoritas Perbatasan Nasional (OPN). Konsep OPN yang diusulkan bukan sekadar perubahan nama BNPP, melainkan lompatan kelembagaan dengan bentuk dan struktur yang jauh lebih kuat. OPN dirancang sebagai lembaga pemerintah non-kementerian setingkat Kementerian, yang dipimpin oleh seorang kepala otoritas yang diangkat langsung oleh Presiden dan memiliki status setara Menteri. Dengan posisi tersebut, Kepala OPN akan memiliki kekuatan politik dan koordinatif untuk menjalankan mandatnya tanpa terus terhambat hirarki administratif antarinstansi.

Setidaknya ada lima fungsi strategis OPN yang dapat mengatasi stagnasi yang selama ini dihadapi BNPP. Pertama, OPN akan Menyusun dan mengkoordinasikan Rencana Induk Pembangunan Wilayah Perbatasan (RIPWP) yang menjadi acuan lintas sektor dan lintas tingkat pemerintahan. Rencana ini bersifat mengikat bagi Kementerian dan daerah, sehingga tidak ada lagi program yang saling bertabrakan. Kedua, OPN dapat menjadi pelaksana langsung program pembangunan tertentu di kawasan perbatasan, terutama proyek strategis nasional. Dalam hal ini, OPN tidah hanya mengkoordinasikan, tetapi juga mengeksekusi kebijakan. Ketiga, OPN bersungsi sebagai simpul hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Selam ini, lemahnya komunikasi dan sinergi antara Jakarta dan kabupaten perbatasan membuat program pusat tidak responsif terhadap kebutuhan lokal.

Keempat, OPN menjadi aktor diplomasi teknis dalam kerjasama lintas batas, terutama di wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan negara lain, seperti Malaysia, Timur Leste, dan Papua Nugini. Saat ini, diplomasi perbatasan seringkali hanya ditangani oleh Kementerian Luar Negeri atau Kementerian teknis secara sektoral, tanpa penguatan satuan kerja permanen yang berbasis kawasan. Kelima, OPN akan mengemban tugas afirmasi sosial, yakni membangun kapasitas masyarakat lokal, memperkuat ekonomi berbasis komunitas perbatasan, dan meningkatkan akses layanan dasar. Dengan pendekatan ini, perbatasan tidak lagi dilihat sebagai pinggiran, tetapi sebagai pusat pertumbuhan baru.

Hal yang pasti, pembentukan OPN adalah bentuk konkret dari keseriusan kita sebagai bangsa untuk tidak membiarkan wilayah perbatasan menjadi titik lemah negara. Siapa pun Presidennya, harus menjadikan pengelolaan perbatasan sebagai prioritas nasional. Sebab, hanya negara yang kuat diperbatasan yang akan dihormati di tengah percaturan glonal. Sudah waktunya kita menjadikan OPN bukan hanya sebagai ide, tetapi sebagai realitas kelembagaan yang berdaya, berpihak, dan berdaulat.

Reformasi kelembagaan pengelolaan perbatasan ini bukanlah hal baru di dunia. Sejumlah negara telah lebih dulu menyadari bahwa kawasan perbatasan memerlukan institusi khusus yang kuat, tidak cukup hanya dengan koordinasi biasa. Malaysia misalnya, memiliki Eastern Sabah Security Command (ESSCOM) yang dibentuk sebagai entitas khusus mengelola keamanan dan pembangunan wilayah perbatasan Sabah yang rawan infiltrasi. ESSCOM tidak hanya menjalankan fungsi pertahanan, tetapi juga memiliki peran koordinatif dan pembangunan dan sosial ekomoli.

Demikian juga Australia, memiliki Australian Border Force (ABF) yang berwenang penuh dengan pengawasan pelabuhan, pos lintas batas, hingga kerja sama internasional. Dengan otoritas eksekutif yang jelas dan sumber daya mandiri, ABF menjadi garda terdepan negara dalam menjaga integritas wilayah dan mobilitas lintas batas. Di sini, Indonesia dapat belajar bahwa pengelolaan wilayah perbatasan memerlukan kelembagaan tunggal yang kuat, berotoritas, dan lintas sektor, bukan sekadar badan koordinasi yang pasif.

OPN tampaknya adalah jawaban terhadap kebutuhan lama yang selama ini hanya diselesaikan dengan solusi parsial. Reformasi kelembagaan melalui pembentukan OPN bukan hanya wacana teknokratis, tetapi bagian dari upaya meneguhkan kembali kedaulatan, keadilan sosial, dan kehadiran negara hingga titik terjauh Republik. Seperi kata Bung Hatta “Indonesia bukan hanya Jakarta. Indonesia adlaah dari Sabang sampai Merauke”. Maka sudah sepatutnya kita membangung ujung negeri bukan sebagai simbol, tetapi sebagai kenyataan. Dan itu hanya mungkin bila kita memiliki kelembagaan yang kuat, lintas sektoral, dan berwawasan geopolitik. Sudah waktunya membentuk OPN.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *