MENGGUGAT EKSISTENSI DAN PERAN SENTRA GAKKUMDU

Dr. Bachtiar

Pengajar Hukum Tata Negara FH UNPAM – Pemerhati Kepemiluan

Salah satu simpul krusial dalam penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil adalah efektivitas penegakan hukum terhadap pelanggaran pidana pemilu. Untuk itulah Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) dibentuk, sebagai forum koordinasi tiga pilar penegak hukum pemilu, yakni Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan. Ide dasarnya sederhana namun strategis, yakni menyatukan persepsi, mempercepat koordinasi dan menjamin kepastian hukum dalam masa pemilu yang serba singkat. Namun secara das sein, kehadiran Gakkumdu kerap tidak seideal yang diharapkan.

Banyak laporan masyarakat maupun temuan hasil pengawasan terkait dugaan pelanggaran pidana pemilu kandas tanpa kejelasan. Tidak sedikit pula kasus yang nyata-nyata memenuhi unsur pidana, tetapi gagal ditindaklanjuti karena tidak tercapai kesepakatan antarpilar dalam Gakkumdu. Apa yang salah? Apakah hanya soal teknis hukum, atau ada problem struktural yang lebih mendalam?

Tulisan ini hendak mengajak pembaca merenungkan ulang eksistensi Gakkumdu, dari segi legitimasi hukum, tantangan praktik, hingga tawaran desain reformasi kelembagaan yang lebih kokoh, profesional, dan independen.

Eksistensi Gakkumdu

Secara hukum, Gakkumdu bukanlah lembaga independen yang dibentuk melalui undang-undang. Ia lahir dari regulasi teknis melalui Peraturan Bawaslu, sebagai tindak lanjut dari amanat Pasal 486 UU 7/2017. Pasal tersebut menyebutkan bahwa penanganan pelanggaran tindak pidana pemilu dilakukan Bawaslu bersama Kepolisian dan Kejaksaan. Namun tidak ditemukan nomenklatur “Gakkumdu” secara eksplisit dalam undang-undang tersebut. Akibatnya, posisi hukum Gakkumdu lemah – hanya bersandar pada norma administratif, tanpa fondasi hukum yang kuat.

Kelemahan ini berdampak langsung pada praktik di lapangan. Penyidik dan jaksa yang ditempatkan dalam Gakkumdu tidak sepenuhnya otonom. Mereka tetap tunduk pada garis komando institusional masing-masing. Artinya, ketika terjadi ketegangan antara logika pengawasan pemilu dan kepentingan politik atau hirarki internal institusi asal, unsur Bawaslu sering menjadi pihak yang dilemahkan. Penyidikan atau penuntutan dapat dihentikan hanya karena alasan “tidak sependapat” tanpa argumen hukum yang substantial.

Krisis Koordinasi dan Distorsi Peran

Idealnya Gakkumdu adalah instrumen yang menjamin penegakan hukum pemilu secara cepat, efektif, dan terintegrasi. Namun dalam praktiknya, forum ini justru menjadi medan tarik menarik kewenangan. Tidak jarang, pembahasan perkara lebih diwarnai kompromi dan kalkulasi politis dibandingkan penilaian yuridis. Alih-alih sebagai alat untuk menegakkan keadilan pemilu, Gakkumdu malah kerap menjadi instrumen kompromi politik dan arena saling menyandera kewenangan.

Praktik musyawarah mufakat yang dianut oleh Gakkumdu sering kali tidak menghasilkan keputusan substantif, justru menutupi ketidaksepahaman antarunsur. Jika satu unsur menolak memproses laporan, maka laporan tersebut gugur. Tidak tersedia mekanisme dissenting opinion atau voting yang sehat. Maka dalam banyak kasus, Gakkumdu gagal menjadi forum integratif, malah menjadi instrumen untuk saling menunda dan menyandera keputusan.

Hal yang lebih memprihatinkan, tidak sedikit laporan yang kandas bukan karena kekurangan alat bukti, melainkan karena tekanan vertikal dari atasan institusional di luar Gakkumdu. Ketergantungan struktural aparat yang terlibat di Gakkumdu terhadap institusi asalnya membuat independensi penanganan perkara menjadi ilusi. Pola intervensi ini memperlihatkan bahwa independensi penanganan perkara pidana pemilu masih jauh panggang dari api. Lembaga ini pada akhirnya menjadi “macan tanpa taring”, hadir secara formal, tetapi lumpuh secara fungsional.

Belajar dari Negara Lain

Beberapa negara menunjukkan praktik kelembagaan yang lebih baik dalam menegakkan hukum pemilu. India misalnya, melalui Election Commission of India (ECI) memiliki kewenangan luas, termasuk mengendalikan aparat selama masa pemilu. Yang menarik, India tidak memerlukan forum koordinatif seperti Gakkumdu. Ketika terjadi pelanggaran hukum pemilu, ECI dapat secara langsung merekomendasikan proses hukum atau mendiskualifikasi kandidat tanpa harus bernegosiasi dengan Kepolisian atau Kejaksaan. Hal ini dimungkinkan karena ECI memiliki struktur administratif dan yudisial sendiri yang independen, dan putusannya bersifat binding selama masa pemilu. India membuktikan bahwa kekuatan kelembagaan yang terlembaga secara hukum dan tidak tergantung pada lembaga penegak hukum konvensional dapat menciptakan deterrent yang kuat terhadap pelanggaran pemilu.

Filipina dengan Commission on Election (COMELEC), membentuk divisi investigasi dan penuntutan tersendiri yang langsung menangani pelanggaran pidana pemilu, tanpa harus bergantung pada lembaga eksternal. Divisi ini tidak memerlukan persetujuan dari Kejaksaan. Ia langsung menangani kasus-kasus pelanggaran pidana pemilu dan membawa perkara tersebut ke Regional Trial Courts yang khusus menangani perkara pemilu. Hal ini menciptakan single chain of command dan menghindari fragmentasi kewenangan seperti yang terjadi dalam sistem Gakkumdu.

Lain lagi di Brazil, melalui Electoral Justice System, menggabungkan fungsi peradilan dan penegakan hukum pemilu dalam satu sistem terpisah dari pengadilan umum. Dalam sistem ini, jaksa dan hakim pemilu adalah pejabat karier yang bekerja penuh waktu di bawah struktur peradilan pemilu, bukan berasal dari lembaga umum kejaksaan atau kepolisian. Dengan demikian, tidak terjadi benturan loyalitas dan tidak diperlukan forum koordinasi seperti Gakkumdu.

Ketiga negara di atas menawarkan pelajaran bahwa penegakan hukum pemilu yang efektif dan berwibawa tidak bisa bergantung pada mekanisme koordinasi antarlembaga semata, seperti dalam Gakkumdu. Koordinasi tanpa struktur sering kali berujung pada kebuntuan, inkonsistensi, bahkan impunitas.

Indonesia perlu merefleksikan hal ini secara serius. Apakah cukup mempertahankan Gakkumdu sebagai forum temporer yang dibentuk tiap pemilu? Ataukah saatnya membangun struktur penegakan hukum pemilu yang permanen, profesional, dan independen? Jika Indonesia ingin keluar dari jebakan demokrasi prosedural dan masuk ke demokrasi substantial, maka sistem penegakan hukum pemilu harus ditopang oleh kelembagaan yang kuat, jelas otoritasnya, dan tidak bisa dipengaruhi oleh tekanan politik.

Menemukan Desain Ideal

Menghadapi berbagai kelemahan struktural dan fungsional dalam praktik Gakkumdu saat ini, diperlukan rekonstruksi kelembagaan yang lebih substantif daripada sekedar koordinatif. Penegakan hukum pidana pemilu tidak boleh lagi bergantung pada good will aktor sektoral, tetapi harus bertumpu pada sistem kelembagaan yang otoritatif, independen, dan akuntabel.

Setidaknya ada tiga opsi desain kelembagaan Gakkumdu masa depan yang dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari agenda reformasi hukum pemilu. Opsi pertama, membentuk unit permanen dalam struktur Bawaslu atau merevitalisasi unit yang telah ada, semisal Biro Fasilitasi Penanganan Pelanggaran Pemilu. Dalam model ini, penyidik dan jaksa direkrut secara terbuka melalui mekanisme seleksi nasional dan ditempatkan secara penuh waktu dengan sistem kontrak jangka waktu tertentu. Selama masa penugasan, mereka bekerja di bawah manajemen Bawaslu dan tidak tunduk pada komando teknis institusi asal.

Opsi kedua, masih melibatkan tiga unsur, namun keputusan penanganan perkara tidak didasarkan pada pembahasan bersama atas dasar musyawarah semata, melainkan diperlukan sistem voting profesional dalam pengambilan keputusan. Dengan cara ini, satu unsur tidak bisa memveto keputusan hanya karena alasan subjektif atau tekanan eksternal. Prinsip musyawarah sebagai mekanisme pembahasan dalam Gakkumdu tampaknya dipertahankan demi asas kolektif kolegial. Namun dalam praktiknya, prinsip ini telah menjadi alat kompromi yang memandulkan proses penegakan hukum. Ia membuka ruang negosiasi yang tidak selalu berangkat dari logika hukum, melainkan dari tekanan institusional dan kepentingan non-yuridis. Demikian pula, ketiadaan mekanisme dissenting opinion atau keberatan justru menjadi kelemahan fatal. Padahal dalam sistem hukum modern, perbedaan pendapat adalah esensi dari objektivitas dan kontrol.

Opsi ketiga, tranformasi Bawaslu menjadi lembaga yang memiliki fungsi yudisial dan penegakan hukum pemilu. Transformasi ini bukan sekadar gagasan akademik, tetapi jalan keluar konkret dari kerapuhan hukum pemilu kita saat ini. Dengan mengambil inspirasi dari ECI India, Bawaslu dapat menjadi lembaga yang tidak hanya mencatat dan meneruskan atau merekomendasikan pelanggaran, tetapi menyidik, menuntut, mengadili, dan menindak dengan otoritas penuh dan independen. Transformasi ini adalah investasi untuk demokrasi elektoral yang lebih bermartabat dan berkeadilan. Jika kita serius menjaga kedaulatan rakyat, maka saatnya Bawaslu naik kelas menjadi lembaga penegak hukum pemilu sejati.

Ketiga pilihan model di atas menawarkan arah reformasi kelembagaan yang berbeda-beda namun berangkat dari satu semangat, menjadikan Gakkumdu bukan sekadar forum koordinatif simbolik, melainkan instrumen substantif untuk mewujudkan keadilan pemilu. Reformasi kelembagaan Gakkumdu ini tidak hanya soal struktur, tetapi menyangkut paradigma. Demokrasi elektoral yang bermartabat menunutu penegakan hukum yang tegas, independen, dan tidak bisa dikompromikan oleh kalkulasi politik jangka pendek. Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah kita cukup puas dengan model Gakkumdu saat ini yang sering hanya menjadi etalase normatif, atau berani melompat ke desain kelembagaan yang lebih berani demi menyelamatkan masa depan demokrasi Indonesia?

Menutup Kelemahan

Reformasi Gakkumdu bukan semata soal membangun lembaga baru, melainkan menyusun ulang prinsip dan nilai dalam penegakan hukum pemilu. Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan. Pertama, revisi UU Pemilu untuk memperkuat dasar hukum Gakkumdu dan memberikan status kelembagaan yang tetap, jelas, dan independen. Gakkumdu harus diberi mandat hukum yang setara dengan misi besar yang diembannya yakni menjaga keadilan pemilu dan menjamin integritas pemilu.

Kedua, membangun sistem rekruitmen dan penugasan khusus untuk penyidik dan jaksa di Gakkumdu, yang bersifat penuh waktu dan terbebas dari loyalitas vertikal institusional. Mereka direkrut melalui seleksi bersama lintas lembaga, dibekali dengan pelatihan khusus, dan diberi perlindungan hukum serta remunerasi yang sesuai. Dengan demikian, loyalitas mereka akan beralih dari institusi sektoral kepada tugas negara untuk menegakkan keadilan pemilu.

Ketiga, memastikan mekanisme evaluasi dan akuntabilitas kinerja Gakkumdu, termasuk membuka ruang publik untuk mengawasi proses pembahasan dan penanganan perkara. Gakkumdu perlu menerapkan mekanisme evaluasi kinerja secara berkala, membuka data penanganan perkara, dan menjadikan dokumen rapat sebagai arsip publik yang tunduk pada rezin keterbukaan informasi publik.

Keempat, memperkenalkan sistem dissenting opinion dan dokumentasi rapat, agar publik tahu alasan substantif di balik tidak dilanjutkannya suatu laporan pidana pemilu. Ini akan menciptakan sistem check and balances internal yang sehat. Terakhir, mendorong budaya profesionalisme lintas institusi, bahwa penegakan hukum pemilu adalah tugas negara, bukan agenda institusi.

Hal yang perlu disepakati, Gakkumdu seharusnya bukan sekadar forum teknis penegakan hukum pidana pemilu, melainkan harus menjadi titik temu moral dan profesionalisme penegakan keadilan pemilu. Reformasi Gakkumdu harus melampaui semangat koordinatif, menuju model institusi penegakan hukum pemilu yang otonom, transparan, dan bertanggung jawab kepada demokrasi.

Jika semua langkah tersebut diambil, maka Gakkumdu tidak lagi menjadi forum kompromi kelembagaan, tetapi akan bertransformasi menjadi instrumen negara dalam menjaga integritas kedaulatan rakyat melalui pemilu yang bersih dan berkeadilan.

Refleksi Akhir

Kualitas demokrasi tidak hanya diukur dari sejauh mana suara rakyat dihitung, tetapi juga seberapa serius negara menindak pelanggaran terhadap hak pilih warga. Kehadiran Gakkumdu adalah representasi nyata dari komitmen negara dalam menegakkan hukum pemilu secara adil dan cepat. Namun jika tidak direformasi, Gakumdu hanya akan menjadi formalitas belaka yang kehilangan daya gigit. Reformasi Gakkumdu adalah bagian dari ikhtiar membangun demokrasi elektoral yang berintegritas. Kini saatnya membongkar dan menata ulang desain Gakkumdu agar tidak hanya menjadi forum pembahasan yang lemah, tetapi menjadi lembaga profesional yang bekerja atas dasar integritas, kompetensi, dan keberanian mengekkan hukum tanpa pandang bulu.

Indonesia membutuhkan Gakkumdu yang independen, kuat secara kelembagaan, dan transparan dalam kerja-kerjanya. Gakkumdu seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga integritas pemilu, bukan justru menjadi hambatan tambahan dalam penegakan keadilan. Hanya dengan cara itu, hukum pemilu dapat ditegakkan secara adil, dan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi dapat terus dijaga. Tanpa penegakan hukum yang independen dan efektif, pemilu hanya akan menjadi seremoni lima tahunan tanpa makna substantif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *