Sengketa Kepemilikan Tanah di Kampung Baru, Harjamukti, Depok

Muhammad ichsan al Haidar

Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Pamulang

Sengketa tanah merupakan salah satu permasalahan klasik dalam hukum perdata Indonesia. Sengketa ini sering kali dipicu oleh tidak tertibnya administrasi pertanahan, peralihan hak yang tidak jelas, tumpang tindih kepemilikan, atau bahkan penguasaan fisik tanpa dasar hukum. Dalam banyak kasus, penyelesaian sengketa tanah tidak hanya berlangsung di ranah perdata, tetapi juga dapat memicu konflik sosial yang berujung pada tindakan pidana, sebagaimana terjadi baru-baru ini di Kota Depok.

Kasus di Depok yang mencuat ke publik pada April 2025 memperlihatkan kompleksitas sengketa kepemilikan tanah yang melibatkan warga, kelompok massa, institusi pemerintah, hingga aparat penegak hukum. Tulisan ini bertujuan menganalisis permasalahan tersebut dari sudut pandang hukum perdata, khususnya dalam aspek kepemilikan dan penguasaan tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Sengketa tanah terjadi di Kampung Baru, Kelurahan Harjamukti, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Lahan yang disengketakan seluas kurang lebih 3 hektare tersebut telah lama tidak dimanfaatkan dan berada dalam kondisi kosong.

Dua pihak utama terlibat dalam klaim atas tanah tersebut:

  1. Pemerintah Kota Depok, melalui pernyataan Gubernur Jawa Barat, mengklaim bahwa lahan tersebut merupakan aset negara yang dikuasai oleh Sekretariat Negara dan seharusnya digunakan untuk kepentingan umum.
  2. TS dan kelompoknya, yang mengklaim bahwa mereka telah menguasai lahan tersebut secara fisik selama lebih dari 20 tahun, melakukan pematokan lahan, dan bahkan mencoba mendirikan bangunan semi permanen di atasnya.

Konflik kemudian memuncak ketika aparat gabungan TNI-Polri mendatangi lokasi untuk membubarkan massa. Dalam kericuhan tersebut, satu unit mobil polisi dibakar dan beberapa orang ditahan.

Menurut Pasal 16 dan 20 UUPA, hak milik merupakan hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Namun, hak ini hanya diakui jika telah terdaftar secara sah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dengan kata lain, sertifikat hak milik (SHM) atau bukti kepemilikan lainnya yang terdaftar merupakan satu-satunya bukti sah kepemilikan menurut hukum.

Penguasaan fisik semata, tanpa didukung dokumen kepemilikan yang sah, tidak serta merta menjadikan seseorang sebagai pemilik yang sah menurut hukum.

Menurut Pasal 16 dan 20 UUPA, hak milik merupakan hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Namun, hak ini hanya diakui jika telah terdaftar secara sah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dengan kata lain, sertifikat hak milik (SHM) atau bukti kepemilikan lainnya yang terdaftar merupakan satu-satunya bukti sah kepemilikan menurut hukum.

Penguasaan fisik semata, tanpa didukung dokumen kepemilikan yang sah, tidak serta merta menjadikan seseorang sebagai pemilik yang sah menurut hukum.

Bila benar tanah tersebut adalah bagian dari aset negara atau daerah yang belum dilepaskan haknya, maka secara hukum lahan itu masih berada dalam penguasaan pemerintah. Berdasarkan PP No. 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, semua pihak yang menempati aset negara tanpa izin dapat digolongkan sebagai penyewa liar dan dapat digusur sesuai hukum yang berlaku.

Sengketa tanah di Depok ini menjadi refleksi penting bagi pemerintah dan masyarakat mengenai urgensi tertib administrasi pertanahan. Ke depan, perlu dilakukan penataan ulang terhadap tanah-tanah negara yang tidak dimanfaatkan dan mendorong transparansi dalam proses alih fungsi atau redistribusi tanah demi menghindari konflik serupa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *