Firman Afriansyah
Mahasiswa Hukum Tata Negara - Universitas Pamulang
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Proklamasi kemerdekan pada tanggal 17 Agustus 1945, merupakan awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Istilah Negara Kesatuan Repblik Indonesia (NKRI) merujuk pada UUD 1945 pasal 1 ayat 1. Indonesia sendiri merupakan negara kepulauan, dengan keanekaragaman budaya, suku, ras, dan keyakinan. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia yang memilik fungsi sebagai landasan persatuan dan kesatuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jauh sebelum kemerdekaannya, Indonesia pernah di jajah oleh Belanda. Pada abad ke-16 saat itu Belanda pertama kali menginjakkan kaki di tanah Nusantara. Namun masa penjajahan Belanda tidak dimulai saat itu. Proses pejajahan dilakukan berupa proses ekspansi politik dengan lambat, bertahap, dan berlangsung hingga beberapa abad. Pada abad ke-18, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mengklaim diri sebagai kekuatan politik dan ekonomi di Pulau Jawa setelah Kesultanan Mataram runtuh.
Namun seiring berjalannya waktu, adanya perlawanan rakyat Indonesia terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang dilatarbelakangi karena tindakan monopoli, intervensi politik dengan Devide Et Impera, dan keserakahan dari pemerintahan kongsi dagang itu, ditambah pendudukan Jepang di Nusantara. Hingga pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda secara resmi menyerahkan Nusantara kepada Jepang.
Seiring berjalannya waktu, ambisi Jepang dalam menguasai wilayah Asia Pasifik harus sirna, karena Jepang telah menandatangani penyerahan diri kepada Sekutu di atas kapal USS Missouri. Pada tanggal pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu dan mengakui deklarasi Postdam.
Kemudian pada tanggal 16 Agustus 1945 Naskah Proklamasi disusun di rumah Laksamana Maeda oleh Soekarno, Hatta, dan Achmad Soebardjo pada malam harinya. Naskah proklamasi Indonesia diketik Sayuti Melik, dan ditandatangani Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Hingga pada akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka. Kabar kemerdekaan Indonesia itu pun disebarkan melalui radio, media cetak, serta utusan daerah. Kemerdekaan Indonesia yang ditandai dengan pembacaan naskah Proklamasi oleh Soekarno dibarengi juga dengan peristiwa pengibaran bendera merah putih oleh Latief Hendraningrat dan S. Suhud.
- DEVIDE ET IMPERA
Politik pecah belah, politik adu domba, atau divide et impera adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), suatu perusahaan swasta asal Belanda adalah kelompok pertama yang mengenalkan politik Devide Et Impera di Indonesia, pada abad ke-16. Strategi politik yang dikenal dengan istilah politik pecah belah tersebut digunakan VOC untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah, menguasai penduduk dan melestarikan kolonialisme di Indonesia.
Tujuan terpenting dari politik pecah belah tersebut adalah menaklukkan raja-raja di nusantara dan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. VOC menggunakan politik pecah belah dengan mengadu domba untuk menghancurkan soliditas penduduk Indonesia. Ketika soliditas kelompok tercerai-berai, maka, kelompok tersebut lebih mudah dikuasai dan dikendalikan. Sejarah mencatat VOC menebarkan permusuhan dan menciptakan perang saudara sehingga sukses menaklukkan kerajaan besar di Nusantara.
Strategi pecah dan kuasai diterapkan VOC untuk menghancurkan kekuatan bangsa Indonesia sehingga menjadi kekuatan kecil. Setelah menjadi kekuatan kecil, politik pecah belah terus dimainkan untuk mencegah kekuatan kecil tersebut dapat bersatu kembali.
Cara politik Devide Et Impera ini bekerja berdasarkan pengalaman VOC dan Belanda adalah dengan menyokong satu kelompok yang tengah terlibat konflik. Kemudian membentuk polarisasi yang menyebabkan masing-masing kelompok berseteru dan saling bertentangan. Untuk jangka pendek strategi ini terbilang efektif digunakan untuk mencapai tujuan kepentingan tertentu, namun, dalam jangka panjang strategi pecah belah ini bisa menciptakan disabilitas bangsa.
Dari catatan sejarah menunjukkan Belanda memanfaatkan politik pecah belah, yaitu dengan cara mengadu domba komponen bangsa, mendukung satu kelompok untuk memerangi kelompok lain,menciptakan raja boneka dan melemahkan kekuatan bangsa sebelum melancarkan perang fisik. Strategi pecah belah dalam konteks militer dipandang efisien, berbiaya rendah dalam suatu peperangan.
- POLARISASI POLITIK
Polarisasi politik adalah perbedaan sikap politik yang menjauh dari pusat, menuju ekstrem ideologi. Para ahli membedakan antara polarisasi ideologi (perbedaan antara posisi kebijakan) dan polarisasi afektif (ketidaksukaan emosional dan ketidak percayaan terhadap kelompok politik luar).
Sebagian besar diskusi tentang polarisasi dalam ilmu politik mempertimbangkan polarisasi dalam konteks partai politik dan sistem pemerintahan demokrasi. Dalam sistem dua partai, polarisasi politik biasanya mewujudkan ketegangan ideologi politik biner dan identitas partisannya. Namun, beberapa ilmuwan politik menegaskan bahwa polarisasi kontemporer kurang bergantung pada perbedaan kebijakan pada skala kiri dan kanan tetapi semakin pada divisi lain seperti agama melawan sekuler, nasionalis melawan globalis, tradisional melawan modern, atau pedesaan melawan perkotaan. Polarisasi dikaitkan dengan proses politisasi.
Polarisasi sendiri biasanya dipahami sebagai perpecahan atau konflik yang menonjol yang terbentuk antara kelompok-kelompok besar dalam suatu masyarakat atau sistem politik dan ditandai oleh pengelompokan dan radikalisasi pandangan dan keyakinan pada dua kutub yang jauh dan saling bertentangan. Sebagaimana didefinisikan oleh Institute for Integrated Transitions dan Ford Foundation.
PEMBAHASAN
Politik Devide Et Impera yang diciptakan Belanda untuk membelah masyarakat Indonesia memiliki bentuk dan model yang sama dengan polarisasi agama yang terjadi di masa sekarang. Hanya saja, dulu, aktor yang mendesainnya jelas, yaitu Belanda. Kepentingannya adalah untuk menghancurkan kekuatan dan soliditas bangsa Indonesia, dengan tujuan untuk penjajahan. Sedikit berbeda dengan polarisasi agama yang terjadi sejak Pilkada DKI tahun 2017 dan dilanjutkan dengan Pilpres tahun 2019 lalu.
Masyarakat Indonesia telah terpolarisasi ke dalam dua kutub besar, yang distigma sebagai kelompok “Cebong” dan “Kampret”. Cebong diasosiasikan sebagai pendukung Joko Widodo dan kampret adalah kelompok pendukung Prabowo Subianto. Setelah Jokowi menjadi Presiden, narasi tersebut tidak hilang bahkan cenderung semakin mengental. Kelompok cebong kemudian diasosiasikan sebagai pendukung pemerintah, sebaliknya kelompok kampret adalah oposisi.
Setelah Jokowi menjadi Presiden, narasi tersebut tidak hilang bahkan cenderung semakin mengental. Kelompok cebong kemudian diasosiasikan sebagai pendukung pemerintah, sebaliknya kelompok kampret adalah oposisi. Pembelahan ini tidak segera berakhir sekalipun Prabowo Subianto telah masuk kabinet Jokowi.
Di sini, aktor yang mendesain pembelahan tidak tampak jelas. Siapa yang sengaja memainkannya tidak kelihatan. Apakah berlangsung secara alamiah ataukah sengaja didesain oleh kepentingan asing? Hal ini tidak tampak secara nyata. Akan tetapi, pola pembelahannya sangat presisi, yang dimainkan adalah sentimen agama.
Kelompok fundamentalisme Islam (kelompok yang mengusung gagasan pemurnian Islam Ibnu Taimiyah), ikut memperbesar terjadinya polarisasi. Mereka berdiri di kutub penentang Jokowi atau pemerintah. Kelompok ini semakin membesar dan cenderung memperoleh dukungan, utamanya dari kelompok muslim urban, yang menurut riset berjumlah sekitar 40 persen dari populasi muslim di Indonesia.
Kristalisasi kelompok ini dibentuk oleh aktivitas politik, dimulai dari Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019. Pasca Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) dibubarkan pemerintah, citra Jokowi di mata kelompok fundamentalisme ini semakin buruk, kebenciannya semakin mendalam. Kelompok ini melabeli pemerintahan Jokowi sebagai antek asing. Kondisi ini semakin diperkeruh oleh kebijakan Jokowi yang membuka investasi besar-besaran dari negeri China. Disebarlah propaganda ancaman jika etnis China di Indonesia akan menyebarkan paham komunisme anti agama.
Polarisasi ini semakin dipertajam oleh aktivitas politik, dimana sentiment agama seperti sengaja dikonstruksi. Kondisi ini sangat berbahaya, mengingat pembelahan yang semakin dalam akan menciptakan pertentangan dan pertikaian. Sebagaimana politik devide et impera yang dijalankan Belanda, ujung dari polarisasi adalah terjadinya perang saudara. Masing-masing kelompok akan saling menegasikan. Saling membunuh. Kekuatan bangsa akan hancur karena terjadinya pelemahan akibat perang saudara. Soliditas anak bangsa akan tercabik-cabik sehingga berpotensi menimbulkan instabilitas. Ketika negara tidak stabil, maka,peluang asing kembali menjajah Indonesia terbuka lebar. Ini lah relevansi dari politik devide et impera yang dijalankan Belanda dengan polarisasi agama yang terjadi di Indonesia.
Slater dan Arugay sebagaimana dikutip oleh Abdul Gaffar Karim, menekankan bahwa politik polarisasi dapat terjadi karena persepsi atas pengelolaan kekuasaan. Menurut mereka “today’s democracies often polarize over the perceived abuse of power by popularly elected chief executives.” Politik polarisasi cenderung terjadi ketika pimpinan eksekutif melakukan penyalahgunaan wewenang-kekuasaan. Lebih jauh mereka menyatakan “when chief executives simply play by the rules, they make polarization less likely. And when they do abuse their powers, their opponents can also keep polarization from turning pernicious by playing by the rules in the process of removing him.” Meskipun bukan satusatunya penyebab, tetapi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan oleh pemimpin eksekutif dalam pemerintahan, partai politik maupun organisasi masyarakat menjadi salah satu faktor utama munculnya pro dan kontra di kalangan masyarakat, sehingga berpotensi untuk menimbulkan polarisasi dalam pandangan politik.
Selain faktor persepsi atas pengelolaan kekuasaan, politik polarisasi juga sering terjadi karena faktor politik identitas, salah satunya adalah agama, yang lazim disebut sebagai politisasi agama.
Agama merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam polarisasi politik. Dengan tingkat keberagamaan yang tinggi, bangsa Indonesia adalah masyarakat yang religion-centris melihat semua hal dari perspektif agama, mudah terbakar, dan sensitif. Walaupun terjadi pada semua agama, polarisasi politik di tubuh Muslim begitu kuat dan jelaga. Faktor yang memengaruhi adalah jumlah yang besar, tingkat kemajemukan internal yang tinggi, dan kematangan berdemokrasi yang rendah. Polarisasi politik keagamaan tidak hanya terjadi antara Muslim dan non-Muslim, tetapi justru di antara sesama Muslim.
Belakangan ini kita melihat di media bahwa terjadi gesekan antara Front Persaudaraan Islam (FPI) dan Perjuangan Wali Songo Indonesia Laskar Sabillah (PWI-LS) dalam pengajian Habib Rizieq Shihab di Desa Pegundan. Pengamat geopolitik dan intelijen, Amir Hamzah, mengungkapkan kekhawatirannya atas kemunculan kelompok Pejuang Walisongo Indonesia Laskar Sabilillah (PWI-LS) yang secara terbuka menunjukkan sikap anti-Ba’alawi. Menurut Amir, keberadaan PWI-LS ini bukan sekadar gerakan biasa, melainkan bagian dari operasi sistematis adu domba yang menyasar warga Nahdliyyin agar terpecah-belah dari dalam.
“Yang diadu domba ini sesama anak bangsa, bahkan satu rumpun ideologis: sama-sama warga Nahdliyyin. Ini sangat berbahaya karena polarisasi horizontal akan jauh lebih sulit dikendalikan dibanding konflik elite,” ujar Amir dalam keterangannya, Kamis (24/7/2025).
Amir Hamzah mengingatkan bahwa sejarah telah mencatat bagaimana adu domba sesama warga NU pernah memicu konflik serius, seperti yang terjadi di Dongos, Jepara, beberapa tahun lalu. Saat itu, perbedaan pilihan politik antara pendukung PPP dan PKB memicu pertikaian terbuka yang merusak persaudaraan sesama nahdliyyin.
“Kita pernah melihat bagaimana perbedaan pilihan politik antar sesama warga NU di Dongos, Jepara, berujung bentrokan fisik. Sekarang modusnya naik kelas—narasi identitas yang dibungkus seolah perjuangan Islam Nusantara,” katanya.
Menurut Amir, operasi adu domba ini bukanlah gerakan yang lahir dari bawah secara organik. Ia menengarai ada peran kelompok oligarki yang selama ini memiliki kepentingan untuk menjaga kekuasaan dengan cara memecah belah kekuatan Islam tradisionalis.
“Saya mencium keterlibatan kekuatan oligarki yang ingin mengalihkan perhatian publik dari isu-isu besar seperti ketimpangan ekonomi, korupsi elite, dan dominasi kelompok ekonomi non-pribumi tertentu seperti 9 naga. Mereka ini tidak pernah disentuh oleh kelompok seperti PWI-LS,” ujar Amir.
Alih-alih mengkritisi oligarki ekonomi, lanjut Amir, PWI-LS justru memelihara narasi sektarian dan identitas sempit yang menjauhkan publik dari akar permasalahan struktural bangsa.
Amir Hamzah menyerukan agar aparat penegak hukum dan pemerintah daerah tidak tinggal diam melihat fenomena ini. Ia meminta ada deteksi dini, pemantauan, dan pendekatan dialogis terhadap kelompok-kelompok yang menyebarkan narasi sektarian.
“Potensi konflik ini tidak boleh dianggap remeh. Sekali api sektarian menyala, apalagi di tubuh NU yang merupakan basis terbesar umat Islam Indonesia, bisa terbakar semua. Pemerintah harus hadir untuk menjernihkan, bukan membiarkan narasi ini berkembang liar,” tegas Amir.
Ia juga mengajak para tokoh ulama, habaib, dan aktivis NU untuk tidak terjebak dalam polarisasi ini. Menurutnya, kekuatan Islam Indonesia justru terletak pada keberagaman dan keterbukaannya.
KESIMPULAN
Indonesia adalah Negara kesatuan dengan keanekaragaman budaya, suku, ras, dan keyakinan. Penggunaan isu agama dalam kegiatan politik praktis (politisasi agama) secara ekstrim dan berlebihan demi kepentingan golongan dan pribadi, menyebabkan terjadinya polarisasi atau perpecahan pandangan politik yang bahkan berujung pada perilaku intoleransi dan tindakan kekerasan dalam masyarakat. Selain itu fenomena ini juga tidak sesuai dengan nilai-nilai etis yang berlaku secara umum dalam masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural, yang berlandasakan asas bhineka tunggal ika, saling menghargai dan menghormati dalam perbedaan.
Untuk meminimalisir dampak negative-destruktif dari fenomena ini, perlu keputusan dan tindakan nyata dari pihak-pihak yang bertanggungjawab. Pertama, kelompok-kelompok Islam Fundamentalis, selayaknya menyadari hakikat dan fungsinya sebagai bagian dari elemen bangsa yang harus dan wajib berperan untuk menjaga, membangun dan memajukan bangsa melalui sikap cinta tanah air dan bela negara. Memiliki sikap mengutamakan kepentingan bangsa dan seluruh rakyat Indonesia dari pada kepentingan agama dan golongannya sendiri. Agama harus ditempatkan sesuai hakikatnya sebagai dasar untuk melakukan kebaikan dan kemaslahatan bagi orang banyak melalui jalur politik. Kedua, partai politik dan politisi. Sebagai entitas yang lahir dari semangat reformasi demi kemajuan bangsa, sudah menjadi kewajiban untuk setia pada negara, UUD 1945, dan ideologi Pancasila. Tidak berkompromi untuk melakukan politisasi agama ekstrim demi ambisi politik dan kekuasaan. Mengutamakan persatuan, kesatuan, keamanan, stabilitas dan keharmonisan bangsa dan negara di atas segala tujuan dan kepentingan partai, golongan dan diri sendiri. Ketiga, seluruh rakyat Indonesia. Harus lebih cerdas dalam menyikapi isu-isu primordial dalam politik praktis. Tidak mudah diindoktrinasi dan diprovokasi dengan hoax atau isu-isu agama yang mengarah kepada politisasi dan radikalisme. Tidak berafiliasi dengan politisi, parpol maupun kelompok-kelompok keagamaan fundamentalis yang melakukan politik polarisasi dengan isu agama demi memperoleh jabatan dan kekuasaan.