PAJAK PRO-RAKYAT JOMBANG: ANTARA KEBIJAKAN POPULIS DAN UJIAN TRANSPARANSI PEMERINTAH DAERAH

Khaerul

Mahasiswa Hukum Universitas Pamulang

Pemerintah Kabupaten Jombang baru-baru ini membuat gebrakan yang cukup menarik perhatian publik. Melalui kebijakan yang disebut sebagai “Pajak Pro-Rakyat”, Bupati Jombang Warsubi mengumumkan penghapusan denda pajak serta pemberian diskon hingga 35 persen bagi wajib pajak. Bahkan, masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) diberikan pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Sekilas, kebijakan ini terdengar seperti angin segar di tengah rasa penat masyarakat pasca pemulihan ekonomi. Di saat sebagian daerah justru menaikkan tarif retribusi, Jombang mengambil langkah sebaliknya: memberi keringanan. Namun di balik wajah populis kebijakan tersebut, ada sejumlah hal penting yang patut dikritisi agar jargon “pro-rakyat” tidak berhenti di spanduk dan baliho. Kebijakan yang Menyentuh Nurani, Tapi Perlu Diawasi

Tak bisa disangkal, langkah penghapusan denda pajak adalah bentuk empati pemerintah terhadap warga yang terlilit tunggakan akibat faktor ekonomi. Banyak masyarakat kecil yang sebenarnya bukan tidak mau membayar pajak, tetapi terjebak dalam akumulasi denda yang makin menekan. Dengan adanya kebijakan ini, masyarakat mendapat kesempatan untuk “menebus” kewajiban tanpa rasa takut atau malu.

Namun, perlu diingat: kebijakan yang baik bukan hanya tentang niat, tapi juga bagaimana ia dilaksanakan. Pemerintah daerah wajib memastikan bahwa program ini benar-benar menyentuh kelompok yang berhak, bukan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang sebenarnya mampu namun pandai “bermain data”.

Transparansi dalam penentuan siapa yang tergolong MBR mutlak diperlukan. Jangan sampai pembebasan BPHTB justru dinikmati oleh kalangan yang memiliki koneksi, bukan kebutuhan. Karena jika itu terjadi, maka semangat “pro-rakyat” akan berubah menjadi “pro-elite”.

Antara Diskon Pajak dan Ketahanan Anggaran Daerah

Kritik berikutnya adalah soal konsekuensi fiskal. Diskon pajak dan penghapusan denda

 

tentu berdampak pada berkurangnya pendapatan asli daerah (PAD). Lalu, dari mana pemerintah menutup kekurangan itu?

Apakah penghapusan denda ini telah disertai dengan proyeksi keuangan yang matang? Jangan sampai kebijakan populis ini berujung pada menipisnya anggaran untuk pelayanan publik di sektor lain, seperti pendidikan dan kesehatan. Karena pada akhirnya, rakyat juga yang akan menanggung akibatnya.

Langkah Bupati Warsubi untuk tidak menaikkan pajak pada tahun 2026 memang menenangkan, namun di sisi lain ini menjadi ujian bagi kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola anggaran secara efisien. Tanpa perencanaan matang, kebijakan populis bisa berubah menjadi bumerang.

Momentum Membangun Kepercayaan Publik

Terlepas dari segala kritik, kebijakan ini juga membuka ruang penting: momentum membangun kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan daerah.

Rakyat tidak keberatan membayar pajak — asal tahu uang mereka digunakan dengan benar. Oleh karena itu, pemerintah Jombang seharusnya tidak berhenti pada pemberian keringanan, tetapi juga memastikan bahwa setiap rupiah pajak yang dibayar warga kembali dalam bentuk pelayanan publik yang nyata: jalan yang mulus, pelayanan cepat, dan birokrasi yang ramah.

Dengan begitu, “pajak pro-rakyat” bukan hanya slogan, melainkan bukti konkret dari keberpihakan pemerintah kepada warganya.

Penutup: Dari Kebijakan Menuju Keberlanjutan

Sebagai mahasiswa hukum, saya melihat langkah Bupati Jombang ini sebagai ujian nyata bagi tata kelola pemerintahan daerah yang baik (good governance). Kebijakan populis boleh saja dilakukan, asalkan diiringi dengan transparansi, akuntabilitas, dan evaluasi terbuka.

Pajak pro-rakyat harus menjadi kebijakan yang berkelanjutan — bukan sekadar manuver politik menjelang tahun anggaran baru. Karena rakyat tidak butuh kebijakan yang manis di awal, tetapi yang konsisten membawa keadilan ekonomi bagi semua lapisan masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *