Yarid Dwi Barzanziy Diba Utomo
Mahasiswa Fakultas Hukum (Universitas Pamulang)
Kecelakaan pesawat terbang selalu menyisakan tragedi yang memilukan. Dapat mengakibatkan kehilangan nyawa dan luka-luka fisik yang dialami para korban, serta trauma yang mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan, menjadi kenyataan pahit yang harus dihadapi. Di tengah duka mendalam, pertanyaan tentang kompensasi bagi para korban dan keluarga mereka pun mengemuka.
Korban dan keluarga yang ditinggalkan berhak mendapatkan kompensasi yang adil untuk membantu mereka mengatasi dampak tragedi ini. Setiap kecelakaan pesawat udara tentunya memiliki alasan-alasan serta konsekuensi tersendiri. Ada dua jenis kecelakaan yang dalam proses penerbangan yakni kecelakaan ringan dan ada kecelakaan berat hingga berakibat membawa korban jiwa dan menimbulkan kerugian material puluan hingga ratusan juta rupiah.
Penerbangan domestik hukum nasional Indonesia mengacu pada Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan jo. peraturan pelaksana mengenai ganti rugi berada pada Peraturan Menteri Perhubungan 77 Tahun 2011 untuk luka fisik, kematian, maupun kerusakan bagasi. Regulasi aturan hukum yang mengatur mengenai kopensasi yang diberikan sebagai akibat dari kecelakaan pesawat udara masih menjadi polemik, hal ini dikarenakan kopensasi yang diberikan tidak sebanding dengan kecelakaan yang menyebabkan hilangnya nyawa. Dijelaskan dalam Pasal 3 huruf a Peraturan Menteri Perhubungan No.77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, di mana penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat udara akibat kecelakaan pesawat diberi ganti kerugian Rp 1,25 miliar per penumpang, ukuran apa yang dijadikan dasar diberikannya ganti rugi dalam kaitannya perbuatan melawan hukum yang telah mengakibatkan korban jiwa sangat sulit ditentukan.
Menelaah dari Pasal 1370 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) menyebutkan “Dalam hal suatu pembunuhan dengan sengaja atau karena kurang hati-hatinya seseorang, maka suami atau isteri yang ditinggalkan, anak atau orang tua si korban, yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si korban, mempunyai hak menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut keadaan”.
Pemberian kompensasi atau uang ganti rugi yang diberikan sebesar 1,25 miliar berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No.77 Tahun 2011 belum mampu memberikan rasa keadilan bagi semua pihak tanpa mempertimbangkan kompleksitas situasi yang dihadapi oleh keluarga korban. Pada dasarnya setiap penumpang memiliki kedudukan dan perekonomian yang berbeda-beda dan aturan tersebut dipandang sebuah ketidak adilan bagi penumpang yang menjadi korban dengan penghasilan tinggi, kompensasi 1,25 miliar mungkin tidak cukup untuk menutupi kehilangan pendapatan dan dampak ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan. Sedangkan Bagi keluarga penumpang dengan penghasilan rendah, 1,25 miliar mungkin dapat menjadi jumlah yang signifikan dan membantu mereka secara finansial.
Pemberian kompensasi atau uang ganti rugi haruslah mempertimbangkan faktor lain seperti tanggungan, usia, dan potensi penghasilan di masa depan perlu dipertimbangkan untuk memberikan kompensasi yang lebih adil. Penyesuaian besaran kompensasi ini dapat diupayakan dengan dukungan dan advokasi dari berbagai pihak, termasuk media, sangat penting untuk membantu para korban mendapatkan hak-hak yang sesuai.
Tidak sedikit masyarakat yang belum mengetahui ataupun menyadari tentang hal ini dan disinilah peran pemerintah untuk memberikan informasi tentang kompensasi ini kepada masyarakat luas. Banyak masyarakat hanya mengetahui jika menjadi salah satu keluarga korban kecelakaan pesawat terbang maka hanya mendapatkan uang sebesar 1,25 miliar, sebenarnya keluarga dapat mendapatkan uang ganti rugi atau kompensasi yang lebih dari itu akan tetapi keluarga harus di dampingi oleh pihak ke-3 atau pengacara yang memahami tentang hukum tersebut sehingga dapat melakukan pengajuan gugatan atas tuntutan ganti rugi yang sepadan melalui peradilan dengan dasar Pasal 1370 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
Contohnya seperti kasus kecelakaan pesawat terbang maskapai Lion Air JT-610 pada tahun 2018 dengan rute penerbangan Jakarta – Pangkal Pinang yang menyababkan 189 orang meninggal atas teragedi tersebut dimana tidak sedikit keluarga korban yang berhasil dalam melayangkan gugatan melalui peradilan diwakilkan oleh pihak ke-3 atau pengacara dan mendapatkan kompensasi yang dianggap adil.
Tragedi kecelakaan pesawat terbang adalah sebuah pengingat bahwa keselamatan penerbangan harus menjadi prioritas utama. Di saat yang sama, sistem kompensasi yang adil dan komprehensif perlu dirumuskan untuk membantu para korban dan keluarga mereka melangkah maju dari tragedi ini.