Phk Massal :  Dimana Peran Pemerintah Dalam Melindungi Hak Pekerja?

Saputri Qurrotu Aini Eka Yuliani

Mahasiswa Fakultas Hukum (Universitas Pamulang)

Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang terjadi di berbagai sektor di Indonesia belakangan ini memunculkan pertanyaan mendasar terkait peran dan tanggung jawab pemerintah dalam melindungi tenaga kerja. Meskipun Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (2) secara tegas menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,” kenyataannya, ribuan pekerja kehilangan pekerjaan tanpa adanya perlindungan yang memadai. Hal ini memperlihatkan adanya jurang antara norma hukum dan realitas yang terjadi di lapangan.

Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki sejumlah peraturan yang mengatur tentang ketenagakerjaan dan perlindungan bagi pekerja. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan perubahannya melalui Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020) adalah dasar hukum utama yang mengatur hubungan antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Dalam UU tersebut, PHK seharusnya menjadi langkah terakhir yang ditempuh setelah seluruh upaya alternatif dilakukan, seperti restrukturisasi atau pengurangan jam kerja. Namun, dalam praktiknya, PHK sering kali menjadi pilihan cepat yang diambil perusahaan tanpa konsultasi yang memadai dengan pekerja dan minim intervensi dari pemerintah.

Pemerintah juga diwajibkan untuk berperan aktif dalam melindungi hak-hak pekerja yang ter-PHK. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, Pasal 151 ayat (1) menyatakan bahwa pengusaha, pekerja, dan pemerintah harus berupaya untuk menghindari PHK. Sayangnya, peran pemerintah dalam mengawasi dan memastikan implementasi aturan ini sering kali dirasakan kurang optimal. Alih-alih menjadi mediator aktif yang bisa membantu perusahaan dan pekerja mencari solusi alternatif, pemerintah lebih sering muncul setelah PHK terjadi, dengan memberikan solusi jangka pendek seperti bantuan sosial atau program pelatihan kerja.

Program-program seperti Kartu Prakerja yang diluncurkan oleh pemerintah sebenarnya bertujuan untuk membantu pekerja yang terkena PHK, namun ini lebih bersifat reaktif ketimbang preventif. Pada saat yang sama, perlindungan sosial yang dijanjikan oleh pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan juga masih banyak menemui kendala dalam implementasi. Pekerja yang terkena PHK sering kali mengeluhkan proses klaim yang panjang, manfaat yang terbatas, dan kurangnya bantuan dalam menemukan pekerjaan baru.

Padahal, Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sudah mengamanatkan bahwa jaminan sosial bagi tenaga kerja seharusnya menjadi bagian dari perlindungan yang komprehensif. Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2021, juga belum mampu memberikan rasa aman yang cukup bagi pekerja yang ter-PHK, baik dari segi cakupan maupun jumlah manfaat yang diterima.

Menurut Pendapat Saya dalam situasi ini, pemerintah perlu lebih sigap dalam menjalankan fungsi regulasi dan pengawasan. Undang-undang yang ada harus benar-benar ditegakkan, baik dalam hal mencegah PHK maupun memberikan perlindungan nyata bagi pekerja yang terdampak. Pemerintah juga perlu memperkuat sistem jaminan sosial dan memastikan program-program bantuan serta pelatihan kerja dapat diakses secara mudah dan memberikan dampak yang nyata bagi pekerja.

Sebagai penutup, gelombang PHK massal ini harus menjadi pengingat bagi pemerintah untuk tidak hanya sekadar menyediakan program reaktif, tetapi juga mendorong kebijakan yang lebih preventif dalam melindungi hak-hak tenaga kerja. Jika pemerintah mampu menegakkan peraturan yang ada dan memperkuat sistem jaminan sosial, maka Indonesia akan lebih siap menghadapi tantangan ketenagakerjaan di masa depan, sesuai dengan amanat konstitusi dan undang-undang yang berlaku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *