Muhamad Untung Mulyana
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Pamulang
Aparat kepolisian menetapkan seorang ustadz berinisial AF yang mengajar di salah satu pondok pesantren di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, sebagai tersangka kasus dugaan pelecehan seksual terhadap sejumlah santriwati. Penetapan AF sebagai tersangka berdasarkan hasil gelar perkara pada tahap penyidikan. Penyidik menindaklanjuti penetapan AF sebagai tersangka dengan menahan yang bersangkutan di ruang tahanan Markas Polresta Mataram. Dalam kasus ini, terdapat dua kategori laporan terkait pelecehan seksual perihal persetubuhan dan pencabulan. Regi mengatakan jumlah korban dalam kasus ini masih terus bertambah. Hal itu terlihat dari adanya tiga korban yang datang memberikan keterangan kepada penyidik.
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram mencatat sedikitnya 20 nama santri yang diduga menjadi korban. Dari jumlah tersebut, baru enam orang yang membuat laporan. Dari hasil investigasi awal, pelaku diduga menggunakan dalih spiritual untuk memanipulasi dan melecehkan para santri. Modusnya memberikan keberkatan di rahim korban dengan dalih agar anak-anak yang mereka lahirkan kelak akan menjadi wali. Dari 20 korban yang teridentifikasi, sekitar 10 orang santri diduga berada disetubuhi pelaku. Sementara sisanya mengalami tindakan pencabulan seperti diraba dan psikologis. Investigasi mendalam masih terus dilakukan mengingat kejadian ini diperkirakan sudah berlangsung sejak tahun 2016-2023.
Pada kasus diatas terdapat dua kategori laporan terkait pelecehan seksual perihal persetubuhan dan pencabulan. Sebelum membahasnya lebih lanjut harus diketahui terlebih dahulu mengenai definisi anak. Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang berbunyi “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Perlu diketahui bahwa persetubuhan antara orang dewasa dengan anak di bawah umur, walaupun tidak menggunakan kekerasan atau memaksa, secara hukum tetap termasuk tindak pidana pemerkosaan terhadap anak atau statutory rape.
Pada dasarnya, melakukan persetubuhan dengan anak merupakan tindakan yang melanggar beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan perubahannya. Misalnya Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang melarang tegas setiap orang untuk melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Bagi orang yang melanggar pasal di atas dapat dikenai pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar. Perlu dicatat, ketentuan pidana ini berlaku juga bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain.
Selain pasal di atas, pelaku persetubuhan dengan anak juga melanggar Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berikut. “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”. Pelanggaran terhadap pasal di atas dapat juga dikenai penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.
Selain dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pelaku persetubuhan dengan anak juga berpotensi dikenai pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, khususnya mengenai pelecehan seksual fisik. Ketentuan mengenai pelecehan seksual fisik dapat ditemukan pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual berikut.
“Dipidana karena pelecehan seksual fisik:
- Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50 juta.
- Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam meupun di luar perkawinan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300 juta.
- Setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300 juta.”
Ada yang perlu diingat bahwa tindak pidana di atas merupakan delik aduan, namun dikecualikan bagi penyandang disabilitas atau anak. Selain itu, dalam hal korbannya anak, maka sanksi pidananya ditambah 1/3.
Ketentuan persetubuhan anak juga dapat merujuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, yaitu tahun 2026. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana secara langsung mengatur bahwa persetubuhan dengan anak termasuk tindak pidana perkosaan. Hal ini sebagaimana Pasal 473 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan:
- Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya, dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
- Termasuk tindak pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perbuatan:
- Persetubuhan dengan seseorang dan persetujuannya, karena orang tersebut percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinya yang sah;
- Persetubuhan dengan anak;
- Persetubuhan dengan seseorang, padahal diketahui bahwa orang lain tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya; atau
- Persetubuhan dengan penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan menggerakkannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan dengannya, padahal tentang keadaan disabilitas itu diketahui.
Dalam hal tindak pidana di atas dilakukan terhadap anak, maka dipidana dengan penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit kategori IV, yaitu sebesar Rp200 juta dan paling banyak kategori VII, yaitu sebesar Rp5 miliar.
Menurut penulis perlindungan terhadap anak di dalam pondok pesantren harus di perhatikan oleh pemerintah karena bukan hanya sekali terjadi tindak pidana pelecehan seksual ini terjadi tapi sudah ada beberapa kali. Pengawasan merupakan salah satu bentuk pencegahan yang dapat dilakukan. Pelaku juga harus di hukum seberat-beratnya sesuai dengan aturan yang berlaku. Dan untuk korban diharapkan mendapatkan pendampingan dari segi fisik maupun batinnya, karena pasti kejadian tersebut membuat diri korban memiliki trauma tersendiri.