Kasus Sengketa Tanah Antara PTPN II Dengan Warga Desa Helvetia

Anissa Rima Susanti

Mahasiswa Fakultas Hukum (Universitas Pamulang)

Perisitiwa Hukum:

Kasus sengketa tanah antara PTPN II dan warga Desa Helvetia bermula dari klaim warga atas tanah yang diduga merupakan tanah garapan atau hak milik mereka, sementara PTPN II mengklaim bahwa tanah tersebut berada dalam Hak Guna Usaha (HGU) mereka. Konflik muncul ketika warga merasa berhak atas tanah yang sudah mereka garap selama bertahun-tahun, terutama jika HGU PTPN II telah berakhir atau tidak dimanfaatkan secara maksimal.

Secara hukum, warga mengklaim hak berdasarkan penguasaan fisik atau hak adat, sementara PTPN II mendasarkan klaimnya pada HGU yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Jika HGU sudah habis, tanah tersebut seharusnya dikembalikan menjadi tanah negara, membuka peluang redistribusi kepada masyarakat sesuai aturan tentang tanah terlantar (PP No. 11 Tahun 2010).

Sengketa ini kemudian berlanjut ke mediasi atau pengadilan untuk menentukan kepemilikan dan hak penguasaan tanah tersebut.

Opini Hukum:

Status Tanah dan Hak Guna Usaha (HGU): PTPN II, sebagai perusahaan BUMN, biasanya memiliki Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah perkebunan yang dimanfaatkan untuk usaha pertanian atau perkebunan. HGU diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Pasal 28 hingga Pasal 34. Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu tertentu (maksimal 35 tahun dan dapat diperpanjang) atas tanah negara. Namun, penting untuk memastikan bahwa HGU tersebut masih berlaku. Jika HGU telah berakhir, maka tanah kembali menjadi tanah negara, dan PTPN II tidak lagi memiliki hak untuk mengelola atau menguasai tanah tersebut. Dalam kasus ini, jika warga Desa Helvetia mengklaim tanah tersebut setelah berakhirnya HGU, maka potensi sengketa dapat muncul terkait penguasaan dan pemanfaatan tanah.

Kepemilikan Tanah oleh Warga: Warga Desa Helvetia dapat mengklaim hak atas tanah tersebut jika mereka memiliki bukti kepemilikan yang sah, seperti sertifikat hak milik (SHM), akta jual beli, atau bukti penguasaan fisik secara terus-menerus selama waktu tertentu (adalanya hak adat atau tanah garapan). Hal ini sesuai dengan UUPA Pasal 20 yang menyatakan bahwa hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dimiliki oleh seseorang atas tanah. Namun, jika warga hanya mengklaim tanah tersebut tanpa adanya bukti kepemilikan yang sah, posisi hukum warga menjadi lemah. Penting juga untuk mengevaluasi apakah warga tersebut pernah memiliki hak atas tanah tersebut sebelum tanah tersebut dikuasai oleh PTPN II.

Aspek Penguasaan Tanah dan Kepentingan Umum: Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Artinya, jika tanah tersebut dikelola oleh PTPN II untuk kepentingan negara dan masyarakat luas, maka hal ini dapat menjadi dasar kuat bagi PTPN II untuk mempertahankan pengelolaannya. Namun, jika tanah tersebut dibiarkan terlantar atau HGU-nya telah habis, maka masyarakat dapat meminta redistribusi tanah kepada pemerintah, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Hal ini harus dilihat lebih jauh apakah PTPN II telah memanfaatkan tanah tersebut sesuai dengan tujuan pemberian HGU.

Upaya Penyelesaian Sengketa: Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sengketa agraria seperti ini sebaiknya diselesaikan melalui jalur mediasi, sebelum berlanjut ke proses peradilan. Mediasi diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dalam mediasi, diharapkan kedua belah pihak, yaitu PTPN II dan warga Desa Helvetia, dapat mencapai kesepakatan terkait penggunaan atau pembagian tanah tersebut. Jika mediasi gagal, warga dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk membatalkan HGU jika dianggap cacat hukum, atau melalui Pengadilan Negeri untuk memperjuangkan hak kepemilikan mereka.

Kesimpulan:

Kunci dari penyelesaian sengketa antara PTPN II dan warga Desa Helvetia terletak pada:

  1. Validitas HGU: Apakah HGU masih berlaku atau telah berakhir.
  2. Bukti kepemilikan warga: Apakah warga memiliki bukti kepemilikan yang sah atas tanah yang disengketakan.
  3. Kepentingan umum: Apakah tanah tersebut digunakan untuk kepentingan umum atau dibiarkan terlantar.

Dasar hukum utama yang dapat dijadikan acuan dalam sengketa ini adalah UUPA No. 5 Tahun 1960, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010, serta UUD 1945 Pasal 33 ayat (3). Pendekatan penyelesaian yang dianjurkan adalah mediasi sebagai langkah awal, dengan pengadilan sebagai langkah terakhir jika mediasi tidak mencapai kesepakatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *