Pembukaan Keran Ekspor Pasir Laut : Dalih kemanfaatan dan Pelonjakan

Talitha Zuleika Rahma

Mahasiswa Fakultas Hukum (Universitas Pamulang)

Laut merupakan hamparan air asin yang mengelilingi daratan, berperan dalam menunjang berbagai  aspek kehidupan. Mulai dari sumber  pangan, sumber mata  pencaharian serta rumah bagi berbagai  makhluk yang mendiaminya. Manusia yang hidup berdampingan dengan  alam haruslah memperhatikan berbagai tindakan-tindakan yang mendukung pelonjakan kerusakan lingkungan guna menjaga stabilitas kehidupan yang  berkepanjangan.

Untuk menjaga stabilitas kehidupan manusia yang berdampingan  dengan alam, pemerintah kini berupaya untuk menjaga hal tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Pemerintah berdalih regulasi ini akan menunjang kelestarian ekosistem laut yang meliputi perbaikan kualitas pasir laut sekaligus memperbaiki kehidupan nelayan tradisional maupun nelayan skala kecil.

Namun rupanya hal baik dari pemerintah ini mendapati banyak respon penolakan dari sebagian  masyarakat, aktivis maupun ahli  lingkungan. Hal ini disebabkan adanya pandangan akan dikeluarkannya PP tersebut sebagai upaya pembukaan keran ekspor pasir laut yang selama ini dihentikan sementara sejak tahun 2003 silam tepatnya pada masa pemerintahan Ibu Megawati Soekarno Poetri. Ekspor pasir laut saat itu diberhentikan karena kegiatan tersebut dianggap merusak ekosistem laut, serta menimbulkan kerugian bagi negara yang terbilang tidak sedikit jumlahnya.

Setelah dikeluarkannya Permendag nomor 20 tahun 2024 tentang barang yang dilarang untuk diekspor dan Permendag nomor 21 tahun 2024 tentang kebijakan dan pengaturan ekspor. Pembukaan ekspor pasir laut lewat Kemendag merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2023 tentang hasil pengelolaan sedimentasi di laut serta tindak lanjut dari usulan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Walaupun disertai ketentuan dalam ekspor hasil sedimentasi  pasir laut, namun pihak pemerintah sudah mulai melakukan pengerukan pasir laut di sejumlah titik yang  diantaranya, di antaranya Kabupaten Demak, Kota Surabaya, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, perairan sekitar Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan, serta perairan di sekitar Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.

 dengan  tanpa memberikan data kerusakan sedimentasi pasir laut di sejumlah titik tersebut. Disamping itu,  pemerintah juga dalam mensosialisasikan pengerukan di tempat warga pesisir menjelaskan kegiatan pengerukan  hanya berlangsung selama satu hari.

Faktanya disejumlah titik, pengerukan berlangsung selama berhari-hari. Alhasil air laut berubah menjadi keruh sehingga hal ini berdampak bagi hasil tangkapan nelayan yang semakin menurun. Tak asing dirasa dalam kasus ini pabila tidak menyebutkan Tri Ismuyati yang merupakan seorang ibu rumah tangga dan istri dari seorang nelayan di Jepara, Jawa Tengah.  Dirinya menceritakan bahwa sang suami  pulang dengan tangan kosong hampir setiap hari. Hasil tangkapan yang dulu melimpah kini hanya tersisa 5 kilogram, itupun setelah melaut berjam-jam.  Tri Ismuyati menceritakan, kondisi ini sudah berlangsung sejak Maret tahun lalu. Setiap malam, kapal isap pasir laut beroperasi di wilayah pesisir, menyedot pasir laut dalam jumlah besar.

Menurut saya apabila hal ini dilakukan untuk kepentingan bersama, pemerintah harusnya sudah memberikan transparansi akan kerusakan sedimentasi laut di titik-titik lokasi pengerukan.  Serta sudah memikirkan dampak dari pengerukan bagi warga pesisir yang banyak mata pencahariannya berasal dari tangkapan ikan laut, serta pencegahan dampak kerusakan usai dilakukannya kegiatan pengerukan. Sudah menjadi suatu kewajiban bagi setiap orang di Indonesia untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Maka sudah sewajarnya masyarakat Indonesia mengawal program ekspor hasil sedimentasi laut ini utamanya ketika pemerintah belum transaparan akan kerusakan sedimentasi hasil laut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *