Aliea Lutfiana Putri
Mahasiswa Fakultas Hukum (Universitas Pamulang)
Terkadang, dalam melakukan perjanjian sering kali kita tidak memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dimasa depan yang dimana tidak bisa kita perkirakan atau kita tebak akan terjadi. Ketika membuat suatu perjanjian, kita menganggap bahwa diri kita mampu memenuhi prestasi dari perjanjian tersebut tanpa kendala. Namun nyatanya, sering kali kita tidak dapat memenuhi prestasi dari suatu perjanjian karena satu dan lain hal yang terjadi dalam kehidupan kita. Contohnya, ketika kita tertimpa musibah yang tidak dapat kita hindari seperti bencana alam, kecelakaan, pandemic, dan lain hal yang memang sudah pasti tidak dapat kita hindari. Terjadinya hal semacam itu dapat menjadi penghambat kita untuk memenuhi prestasi dalam perjanjian yang sudah dibuat.
Kejadian yang dapat menghambat kita untuk memenuhi prestasi dapat dijadikan alasan untuk kita tidak memenuhi prestasi, juga bahkan pembatalan perjanjian. Hal ini disebut dengan Force Majeure atau keadaan memaksa. Peristiwa yang tidak terduga seperti bencana alam, pandemi, atau perang seringkali dijadikan alasan untuk mengakhiri atau membatalkan suatu perjanjian. Namun, penerapan konsep force majeure ini dalam kehidupa nyata terkadang menimbulkan permasalahan dikemudian hari dan juga celah hukum yang perlu diperhatikan.
Syarat-syarat terjadinya force majeure umumnya meliputi:
- Tidak dapat diprediksi: Keadaan tersebut tidak dapat diantisipasi sebelumnya.
- Tidak dapat dihindari: Pihak yang terkena dampak tidak dapat mencegah atau mengatasi keadaan tersebut.
- Mempengaruhi pelaksanaan perjanjian: Keadaan tersebut secara langsung menghambat pelaksanaan kewajiban yang ada dalam perjanjian dilaksanakan.
Dalam hal ini, saya mengambil sebuah kejadian dimana sebuah perusahaan konstruksi dan pemerintah daerah menandatangani perjanjian untuk membangun infrastruktur publik, seperti jembatan dan jalan, yang dijadwalkan dimulai pada bulan Maret. Pada bulan Februari, daerah tersebut dilanda gempa bumi yang kuat, menyebabkan kerusakan parah pada infrastruktur yang ada dan mempengaruhi lokasi proyek. Setelah bencana, tim penilai melakukan survei dan menemukan bahwa lokasi proyek tidak lagi layak untuk dilaksanakan. Banyak material yang diperlukan untuk konstruksi menjadi sulit diakses karena jalur transportasi yang rusak.
Perusahaan konstruksi mengajukan klaim force majeure kepada pemerintah daerah, mengacu pada pasal dalam perjanjian yang mengatur situasi bencana alam yang tak terduga. Mereka menyatakan bahwa gempa bumi merupakan keadaan luar biasa yang menghalangi pelaksanaan proyek sesuai jadwal. Pemerintah daerah, setelah mempertimbangkan klaim tersebut, mengadakan pertemuan untuk membahas status perjanjian. Mereka menyadari bahwa kondisi lapangan yang berubah membuat pelaksanaan proyek tidak mungkin dilakukan pada waktu yang ditentukan. Setelah diskusi, kedua belah pihak sepakat untuk membatalkan perjanjian dengan alasan force majeure. Mereka juga menyepakati bahwa pembatalan tersebut tidak akan mengakibatkan sanksi atau denda bagi pihak manapun.
Namun, menurut pendapat saya, dalam konsepnya, keadaan memaksa atau force majeure ini menimbulkan beberapa gap yang dapat menjadi permasalahan dikemudian hari, seperti ;
- Definisi yang Tidak Jelas
Terbukanya definisi dari Force Majeure ini terlalu luas dan tidak terperinci atau kurang spesifik membuat interpretasi yang luas bagi para pihak. Perbedaan interpretasi itu sendiri dapat menyebabkan ketidakpastian hukum yang ada. Karena terlalu luasnya definisi dari Force majeure ini, pada kenyataannya sering kali orang orang menjadikan hal-hal yang sebetulnya bukan suatu dari ‘keadan memaksa’ untuk dijadikan suatu alasan dari lalainya mereka memenuhi prestasi dalam suatu perikatan atau perjanjian yang mereka buat. Sementara dalam UU yang mengatur soal force majeure atau keadaan memaksa yaitu pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata tidak menjelaskan secara rinci tentang hal hal atau keadaan yang bagaimana yang dapat dijadikan alasan penggunaan konsep force majeure ini.
- Bukti yang Diperlukan
Pihak yang menyatakan Force majeure dibebankan kewajiban untuk membuktikan bahwa suatu kejadian itu memang merupakan force majeure. Dalam UU pasal 1244 KUH Perdata, bilamana pihak yang mengklaim force majeure tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya pemenuhan prestasi itu disebabkan keadaan tidak terduga atau keadaan memaksa, maka pihak tersebut harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian serta bunga. Dan dalam hal ini pula, terdapat kesulitan untuk bagaimana pihak membuktikan adanya suatu keadaan tidak terduga yang menimpanya. Jadi terkadang, dalam kenyataannya, para pihak yang mengalami kejadian dimana ia terhambat atau tidak dapat lagi memenuhi prestasi harus tetap dihukum dan memenuhi prestasi karena bukti yang ditunjukkan tidak cukup dan pihak tersebut tidak dapat membuktikannya. Dimana pihak yang menerima prestasi (kreditur) tetap mewajibkan debitur untuk tetap melaksanakan perjanjiannya. Dan disinilah adanya celah ketidakpastian hukum.
Konsep dari Force majeure ini juga dalam praktiknya menimbulkan beberapa dampak hukum yang terjadi, yaitu :
- Pembatalan Sepenuhnya atau Sebagian perjanjian
Sejauh ini, belum adanya kepastian dari hukum dan belum ada kesepakatan yang pasti apakah keadaan force majeure dapat sepenuhnya membatalkan suatu perjanjian atau hanya penundaan sementara.
- Ganti Rugi
Jika perjanjian dibatalkan karena alasan force majeure atau keadaan memaksa, pada kenyataanya terdapat pihak yang mempertanyakan mengenai hak masing-masing dari mereka untuk meminta atau saling mengganti rugi dikemudian hari. Karena pada akhirnya, akan ada salah satu pihak yang merasa dirugikan sementara pihak yang lain merasa untung.