KUHP BARU ANTARA DEKOLONISASI HUKUM DAN TANTANGAN DEMOKRASI

Dr. Bachtiar, S.H., M.H., M.Si.

Pengajar Hukum Tata Negara FH UNPAM

Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, menandai salah satu babak penting dalam sejarah hukum Indonesia. Setelah lebih dari satu abad bergantung pada KUHP peninggalan kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang diperkenalkan sejak 1915, bangsa ini akhirnya memiliki hukum pidana yang disusun sendiri, dengan memasukkan nilai-nilai Pancasila, hukum adat, dan pendekatan keadilan restoratif. Secara simbolis, hal ini menjadi wujud kedaulatan hukum dan identitas hukum nasional, sebuah langkah maju yang menunjukkan bahwa Indonesia mampu menapaki jalur hukum pidana modern sesuai konteks sosial dan budaya nasional.

Namun, di balik simbolisme keberhasilan tersebut, KUHP baru memunculkan kontroversi serius. Pasal-pasal yang dianggap kontroversial, seperti penghinaan presiden, kriminalisasi kohabitasi, aturan moralitas, dan pasal-pasal multitafsir, menimbulkan kekhawatiran akan potensi pembatasan kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Kritik ini bukan tanpa dasar. Sejumlah pasal bisa digunakan sebagai instrumen kontrol politik, memberi aparat kekuasaan ruang untuk menekan kritik, oposisi, dan ruang publik. Dengan demikian, KUHP baru bisa dibaca sebagai pedang bermata dua: sekaligus simbol kemerdekaan hukum dan ujian serius bagi demokrasi Indonesia.

Capaian Historis dan Ambivalensi Demokrasi

KUHP lama yang berlaku selama lebih dari satu abad bukan sekadar teks hukum; ia adalah warisan kolonial yang mencerminkan logika kekuasaan Belanda di Nusantara. Banyak pasal yang tidak relevan dengan konteks Indonesia modern, termasuk pengaturan yang kaku terkait pidana yang sering menekankan represivitas daripada keadilan substantif. Dalam perspektif ini, lahirnya KUHP baru adalah jawaban terhadap kebutuhan dekolonisasi hukum – menciptakan sistem hukum nasional yang mandiri, mencerminkan nilai bangsa, dan lebih adaptif terhadap dinamika sosial.

KUHP baru tidak hanya menghapus pasal-pasal yang usang, tetapi juga memperkenalkan pendekatan baru. Misalnya, restorative justice yang menekankan pemulihan hubungan antara korban dan pelaku, serta pidana alternatif yang memberi ruang bagi penyelesaian di luar pengadilan. Hal ini mencerminkan pemikiran modern dalam hukum pidana, di mana tujuan utama hukum bukan sekadar menghukum, tetapi menegakkan keadilan substantif dan mendorong rehabilitasi sosial. Selain itu, pengakuan terhadap hukum adat sebagai bagian dari sistem hukum nasional memperkuat identitas hukum yang berbasis kearifan lokal.

Dari perspektif simbolik dan normatif, pengesahan KUHP baru adalah tonggak penting bahwa Indonesia akhirnya melepaskan diri dari bayang-bayang kolonial dan menegaskan kedaulatan hukum nasional. Ia menjadi bukti politik hukum yang berpihak pada pembentukan hukum pidana yang relevan, adaptif, dan humanis. Namun, keberhasilan simbolis ini tidak sepenuhnya menjamin perlindungan demokrasi.

Substansi KUHP baru masih memuat pasal-pasal yang dianggap berisiko membatasi kebebasan sipil. Pasal penghinaan presiden dan lembaga negara, misalnya, bisa digunakan untuk membungkam kritik publik atau aktivitas politik yang sah. Aturan tentang kohabitasi atau perzinaan mencampuri ranah privat warga, membuka peluang bagi diskriminasi dan intervensi negara terhadap kehidupan pribadi. Sementara pasal-pasal multitafsir memberi ruang bagi aparat untuk menafsirkan hukum secara luas, yang berpotensi disalahgunakan.

Kritik terhadap KUHP baru juga menyoroti proses legislasi yang terbatas dalam partisipasi publik substantif. Meskipun DPR dan pemerintah menyatakan telah melalui pembahasan panjang, banyak kalangan menilai aspirasi masyarakat sipil kurang diperhatikan. Ini menimbulkan persepsi bahwa substansi KUHP baru lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan elit politik dibanding aspirasi keadilan yang inklusif. Dengan demikian, sekalipun KUHP baru berhasil secara simbolis, ia menghadirkan risiko kemunduran substantif dalam demokrasi dan hak asasi manusia.

Proses lahirnya KUHP baru tidak lepas dari tarik-menarik antara kepentingan ideal dan kepentingan praktis. Kepentingan ideal tercermin dalam dekolonisasi hukum: keinginan untuk memiliki hukum pidana nasional yang mandiri, modern, dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Di sisi lain, kepentingan praktis terlihat dalam pasal-pasal yang memberi kontrol kepada aparat dan elit politik, menjaga stabilitas sosial, atau mengatur moralitas masyarakat sesuai persepsi kelompok tertentu.

Tarik-menarik ini menciptakan ambivalensi bahwa KUHP baru berhasil menjadi tonggak simbol kedaulatan hukum, tetapi substansinya menunjukkan kompromi yang berpotensi membatasi kebebasan sipil. Politik hukum di sini tampak tidak netral. Narasi dekolonisasi digunakan untuk melegitimasi instrumen hukum yang dalam praktik bisa memperkuat kontrol politik. Hasilnya adalah produk hukum yang formal progresif, tetapi material dan praktisnya masih perlu diuji dalam konteks perlindungan hak asasi dan demokrasi.

Menjaga Hukum sebagai Instrumen Keadilan

Keberhasilan KUHP baru tidak hanya ditentukan oleh pengesahannya, tetapi sangat bergantung pada bagaimana pasal-pasal kontroversial diterapkan dalam praktik. Mahkamah Konstitusi, aparat penegak hukum, akademisi, media, dan masyarakat memiliki peran kunci dalam memastikan KUHP baru tidak diselewengkan menjadi alat dominasi kekuasaan. Pengawasan kritis dan berkelanjutan menjadi esensial agar hukum berfungsi sesuai tujuan utamanya: menegakkan keadilan dan melindungi hak asasi manusia.

Interpretasi pasal oleh hakim di pengadilan menjadi faktor penentu lain. Pasal-pasal yang multitafsir bisa menjadi ancaman jika dijadikan sarana membungkam kritik dan protes sah, namun dapat juga diterapkan secara proporsional jika penegak hukum memahami konteks sosial dan nilai demokrasi. Dengan demikian, KUHP baru bukan sekadar dokumen hukum formal; ia merupakan ujian nyata terhadap kedewasaan politik hukum dan kesadaran hukum masyarakat Indonesia.

Ke depan, keberhasilan KUHP baru akan terlihat dari keseimbangan antara penerapan yang kritis, pengawasan publik yang efektif, dan kesadaran aparat hukum untuk mengutamakan keadilan substantif. Hanya dengan mekanisme implementasi dan pengawasan yang matang, KUHP baru dapat benar-benar menjadi simbol kedaulatan hukum sekaligus instrumen yang melindungi demokrasi dan hak sipil warga negara.

Selain itu, peran masyarakat sipil dan media menjadi sangat penting dalam menciptakan sistem checks and balances. Partisipasi publik yang aktif—melalui kritik, penelitian, dan pengawasan terhadap praktik penegakan hukum—dapat mencegah penyalahgunaan pasal kontroversial. Tanpa pengawasan yang memadai, KUHP baru berisiko menjadi instrumen yang memperkuat ketimpangan kekuasaan, alih-alih menegakkan keadilan.

Lebih jauh, pendidikan hukum dan kesadaran hukum masyarakat menjadi fondasi penting agar hukum pidana tidak hanya dipahami sebagai alat sanksi, tetapi sebagai sarana perlindungan hak dan pemeliharaan demokrasi. Dengan meningkatnya literasi hukum, warga negara mampu menuntut pertanggungjawaban aparat dan memastikan bahwa implementasi KUHP baru tetap selaras dengan prinsip keadilan substantif, demokrasi, dan nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar negara.

KUHP Baru sebagai Monumen Ambivalensi

KUHP baru dapat dipandang sebagai monumen ambivalensi dalam sejarah politik hukum Indonesia. Di satu sisi, pengesahannya menandai keberhasilan historis berupa dekolonisasi hukum, modernisasi sistem pidana, dan penegasan kedaulatan hukum nasional. Indonesia akhirnya memiliki kode pidana yang disusun sendiri, lebih relevan dengan nilai-nilai Pancasila, budaya lokal, dan prinsip keadilan restoratif, sekaligus mencerminkan upaya pembaruan hukum yang adaptif terhadap dinamika sosial kontemporer.

Namun, di sisi lain, KUHP baru memunculkan tantangan serius bagi demokrasi. Beberapa pasal yang kontroversial, seperti penghinaan terhadap presiden, kohabitasi, dan pasal-pasal multitafsir yang dikhawatirkan bisa membatasi kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Pasal-pasal tersebut memberi ruang bagi aparat dan elite politik untuk menafsirkan hukum secara luas, sehingga potensi penyalahgunaan untuk kepentingan kontrol politik tidak dapat diabaikan. Dengan demikian, KUHP baru menunjukkan tarik-menarik antara kepentingan ideal dalam membangun hukum nasional yang mandiri dan kepentingan praktis yang menekankan stabilitas serta kontrol sosial.

Keberhasilan dan legitimasi KUHP baru sejati akan sangat bergantung pada implementasi dan pengawasan di lapangan. Mahkamah Konstitusi, aparat penegak hukum, akademisi, media, dan masyarakat memiliki peran krusial dalam memastikan pasal-pasal kontroversial tidak diselewengkan sebagai alat pembungkaman atau dominasi kekuasaan. Interpretasi hakim yang bijaksana, kesadaran hukum masyarakat, dan partisipasi publik aktif menjadi faktor kunci agar hukum ini berfungsi sebagai instrumen keadilan, bukan sekadar legitimasi kekuasaan. Dengan kata lain, KUHP baru adalah pedang bermata dua: ia menandai langkah maju dalam kedaulatan hukum dan reformasi pidana, namun keberhasilan substansialnya sangat tergantung pada kedewasaan politik hukum dan kesadaran hukum masyarakat Indonesia.

Selain itu, KUHP baru juga menjadi cerminan kompleksitas politik hukum di Indonesia, di mana proses legislasi tidak hanya sekadar teknis hukum, tetapi juga arena tarik-menarik kepentingan politik, sosial, dan moral. Narasi dekolonisasi digunakan sebagai legitimasi publik untuk memperkenalkan kode pidana baru, sementara kepentingan praktis, seperti kontrol terhadap kebebasan berpendapat dan penguatan moralitas tertentu, yang tercermin dalam pasal-pasal kontroversial. Kondisi ini menunjukkan bahwa setiap produk hukum tidak pernah murni netral; selalu ada interaksi antara cita hukum ideal dan realitas politik yang pragmatis.

Lebih jauh, KUHP baru juga menuntut masyarakat untuk memiliki kesadaran hukum yang tinggi dan partisipasi aktif dalam pengawasan. Media, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan publik secara luas harus mampu membaca, mengkritisi, dan memantau implementasi hukum agar tidak disalahgunakan. Pengawasan yang efektif akan memastikan bahwa pasal-pasal multitafsir diterapkan secara proporsional dan berkeadilan, serta mendukung tercapainya tujuan hukum pidana modern: menegakkan keadilan, memperbaiki perilaku sosial, dan melindungi hak-hak warga negara. Dengan demikian, KUHP baru bukan sekadar dokumen formal, tetapi ujian nyata terhadap kedewasaan politik hukum dan kualitas demokrasi Indonesia di era modern.

Jalan ke Depan

Pengesahan KUHP baru merupakan momentum penting untuk refleksi dan pembelajaran. Dekolonisasi hukum adalah capaian signifikan, tetapi substansi yang berisiko membatasi kebebasan sipil menunjukkan bahwa pembangunan hukum nasional tidak bisa lepas dari pengawasan kritis masyarakat. KUHP baru menuntut keterlibatan aktif semua pihak: legislatif, eksekutif, yudikatif, akademisi, media, dan masyarakat. Tanpa pengawasan ini, aspirasi dekolonisasi hukum bisa berubah menjadi legitimasi bagi kontrol politik yang berlebihan.

Sebaliknya, jika implementasi dijalankan dengan kesadaran demokratis dan prinsip keadilan yang jelas, KUHP baru dapat menjadi fondasi hukum pidana modern yang humanis, progresif, dan berintegritas. Dalam konteks ini, KUHP baru bukan sekadar dokumen legislasi, melainkan refleksi perjalanan politik hukum Indonesia—antara ambisi kemerdekaan hukum, tanggung jawab demokrasi, dan realitas kekuasaan.

KUHP baru, dengan segala ambivalensinya, menjadi tantangan sekaligus peluang: bagaimana Indonesia menyeimbangkan antara kedaulatan hukum, keadilan substantif, dan perlindungan hak-hak sipil agar hukum benar-benar menjadi instrumen yang melayani rakyat, bukan alat penguasa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *