Putri Angesty Kusuma Arif
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Pamulang
Sengketa tanah masih menjadi masalah yang terus berlangsung tanpa penyelesaian yang tuntas. Salah satu contohnya adalah kasus yang menimpa I Nyoman Latra alias Guru Ina Ratih. Kasus ini bermula ketika Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali memasang patok batas tanah di atas tanah milik Guru Ina Ratih tanpa pemberitahuan atau persetujuan dari pihaknya.
Ketika Guru Ina Ratih mengajukan permohonan sertifikat tanah, aparat desa menolak menandatangani surat-surat yang dibutuhkan. Penolakan ini terjadi karena Kepala Kementerian Kehutanan menyatakan bahwa tanah milik I Nyoman Latra atau Guru Ina Ratih merupakan kawasan Hutan Sakti yang tergolong sebagai hutan lindung dan tercatat dalam register tanah kehutanan.
Meskipun demikian, pejabat yang berwenang secara hukum untuk menandatangani Surat Pernyataan Penguasaan Tanah Secara Fisik (sporadik) tetap enggan untuk menandatangani dokumen tersebut. Padahal, berdasarkan fakta, tanah seluas kurang lebih 16.500 meter persegi yang terletak di Banjar Penida, Provinsi Bali, adalah milik sah Guru Ina Ratih.
Guru Ina Ratih memperoleh tanah tersebut dari leluhurnya, yaitu Pekak Guru Narta (almarhum), dan dari orang tuanya, Guru Narta (almarhum). Keluarga Guru Ina Ratih telah menguasai tanah tersebut secara terus-menerus dan turun-temurun selama lebih dari 30 tahun, serta membayar pajak tanah setiap tahun.
Berdasarkan kasus ini, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dalam Pasal 24 mengatur pembuktian hak lama.
Pasal 24 Ayat 1 menyatakan bahwa untuk keperluan pendaftaran hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama, pemohon dapat menggunakan alat bukti berupa dokumen tertulis, keterangan saksi, dan/atau pernyataan pribadi. Panitia Ajudikasi atau Kepala Kantor Pertanahan dapat menganggap bukti tersebut cukup untuk mendaftarkan hak dan pemegang hak.
Pasal 24 Ayat 2 menyebutkan bahwa apabila alat bukti sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 tidak tersedia atau tidak lengkap, maka pemohon dapat membuktikan hak atas tanah melalui penguasaan fisik atas bidang tanah secara terus-menerus selama 20 tahun atau lebih. Penguasaan tersebut harus dilakukan dengan itikad baik, terbuka, dan diakui oleh masyarakat serta tidak dipermasalahkan oleh pihak mana pun.
Selama ini, masyarakat sering memandang proses pendaftaran tanah hanya sebagai kegiatan administratif. Umumnya, masyarakat menganggap bahwa pendaftaran tanah hanya bertujuan untuk mencatat kepemilikan tanah agar memperoleh kepastian hukum.
Namun, sesungguhnya pendaftaran tanah memiliki dimensi ideologis yang sangat kuat. Pendaftaran tanah mencerminkan konfigurasi politik-hukum dan ideologi yang dominan dalam suatu rezim atau masa tertentu.
Boaventura de Sousa Santos (2002) menegaskan bahwa hukum agraria tidak dapat dipisahkan dari pertarungan ideologis antara negara, pasar, dan masyarakat sipil. Di Indonesia, dinamika tersebut tampak jelas dalam sejarah pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960.
UUPA 1960 merupakan hasil perjuangan panjang dalam rangka mewujudkan keadilan sosial. Salah satu instrumen penting dalam UUPA adalah sistem pendaftaran tanah, yang pada awalnya digunakan sebagai sarana pelaksanaan reforma agraria.
Pada masa itu, pendaftaran tanah berfungsi untuk mengidentifikasi penguasaan tanah yang melebihi batas maksimum. Pemerintah kemudian menjadikan tanah-tanah tersebut sebagai objek redistribusi kepada petani kecil dan masyarakat tak bertanah, sesuai dengan semangat Pasal 33 UUD 1945.
Sayangnya, idealisme ini mulai pudar ketika arah kebijakan ekonomi nasional berubah. Pada era Orde Baru dan setelah reformasi, pendaftaran tanah tidak lagi mendukung reforma agraria. Pemerintah justru menjadikan pendaftaran tanah sebagai sarana legalisasi kepemilikan tanah demi memudahkan transaksi pasar.
Akibatnya, tanah dipandang sebagai komoditas ekonomi, bukan lagi sebagai sumber kehidupan rakyat. Antony Anghie (2005) berpendapat bahwa dominasi hukum barat menciptakan sistem hukum yang memperkuat ketimpangan di negara-negara berkembang.
Dalam konteks agraria Indonesia, hukum pertanahan berubah menjadi alat yang memperkuat penguasaan tanah oleh korporasi dan elit tertentu, bukan untuk memberdayakan masyarakat adat, petani kecil, atau kelompok rentan.
Perubahan ini tidak bisa dilepaskan dari pergeseran ideologi hukum yang melatarbelakanginya. Bila pada masa awal UUPA pendaftaran tanah dijiwai oleh semangat keadilan sosial, maka pada era berikutnya pendaftaran tanah cenderung dikuasai oleh ideologi kapitalisme hukum.
Negara lebih berperan sebagai fasilitator pasar, bukan sebagai pelindung hak rakyat kecil. Akibatnya sangat serius. Alih-alih mengurangi ketimpangan, sistem pendaftaran tanah justru memperparah ketimpangan struktural dalam penguasaan tanah.
Dalam beberapa dekade terakhir, program sertifikasi tanah lebih menekankan pada pemberian jaminan hukum kepada pemilik lahan, bukan pada pemulihan hak masyarakat tak bertanah.
Untuk mewujudkan reforma agraria sejati, bangsa ini perlu melakukan reorientasi ideologi hukum agraria. Pemerintah harus mengembalikan pendaftaran tanah pada fungsi awalnya sebagai instrumen keadilan sosial, bukan sekadar alat legalisasi untuk kepentingan pasar.
Perubahan ini membutuhkan keberanian politik dan keberpihakan nyata terhadap rakyat kecil, bukan hanya teknokratisasi administratif dalam urusan pertanahan.