Penggusuran Tanpa Kompensasi: Pelanggaran Hak Konstitusional di Bantaran Kali Baru, Bekasi

Alfiyani

Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Pamulang

Pemerintah Kabupaten Bekasi, bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, melaksanakan proyek normalisasi Kali Baru untuk mengatasi masalah banjir yang sering terjadi akibat penyempitan aliran sungai oleh bangunan liar

Sebelum Lebaran 2025, warga menerima surat pemberitahuan untuk membongkar bangunan mereka yang berada di sepanjang bantaran Kali Baru. Awalnya, batas aman bangunan yang harus dibongkar adalah 5 meter dari bibir kali, namun kemudian diperluas menjadi 10 meter.

Penggusuran dimulai pada pertengahan April 2025 dan mencakup sekitar 650 bangunan liar di sepanjang dua kilometer bantaran Kali Baru, melintasi Desa Mekarsari, Mangunjaya, dan Tridayasakti. Pembongkaran dilakukan oleh petugas dan sebagian oleh pemilik bangunan secara mandiri.

Beberapa warga mengeluhkan kurangnya kejelasan mengenai ganti rugi dan perubahan mendadak dalam batas pembongkaran. Mereka merasa tidak ada musyawarah yang memadai sebelum pelaksanaan penggusuran. Warga yang terdampak sebagian besar adalah pemilik bangunan ilegal. Namun, ada juga beberapa warga yang memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) atau dokumen tanah lainnya yang sah.

Warga yang memiliki SHM menginginkan kompensasi yang layak atau relokasi sebagai bentuk keadilan, mengingat mereka sudah membayar pajak dan memiliki dokumen yang sah atas tanah dan bangunan mereka.

Pemerintah daerah menyatakan bahwa penggusuran dilakukan untuk kepentingan umum demi normalisasi Kali Baru. Mereka menyebutkan bahwa proyek ini merupakan bagian dari upaya pengendalian banjir di wilayah tersebut. Namun, pemerintah hanya menyebutkan bahwa tidak ada kompensasi bagi warga yang terkena penggusuran, karena mereka menganggap bahwa sebagian besar bangunan yang digusur merupakan bangunan ilegal yang tidak memiliki izin resmi.

Penggusuran bangunan liar di bantaran sungai dapat dibenarkan secara hukum untuk kepentingan umum, seperti normalisasi sungai dan pencegahan banjir. Namun, pelaksanaannya harus sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, termasuk pemberitahuan yang jelas dan musyawarah dengan warga terdampak.​

Sesuai dengan Pasal 29 UU No. 26 Tahun 2007, pemerintah wajib memberikan pemberitahuan yang cukup dan melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat yang terdampak. Dalam hal ini, penggusuran dilakukan dengan pemberitahuan mendesak tanpa konsultasi publik yang memadai, yang berpotensi melanggar asas transparansi dan keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan.

 

Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Oleh karena itu, meskipun bangunan dianggap ilegal, pemerintah tetap berkewajiban untuk memastikan bahwa penggusuran tidak menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia.

Selain itu, penggusuran yang tidak disertai dengan musyawarah atau negosiasi dengan warga dapat dianggap melanggar asas keadilan sosial yang dijamin oleh Pasal 33 UUD 1945.

Dalam kasus ini, tidak ada kejelasan mengenai kompensasi atau relokasi bagi warga yang terdampak penggusuran. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kepatuhan pemerintah terhadap prinsip keadilan sosial dan perlindungan terhadap warga negara.

Penggusuran bangunan liar di bantaran Kali Baru memiliki dasar hukum dalam upaya normalisasi sungai dan pencegahan banjir. Namun, pelaksanaannya menimbulkan sejumlah masalah hukum dan sosial, antara lain:​

  • Kurangnya Musyawarah: Warga merasa tidak dilibatkan secara aktif dalam proses pengambilan keputusan, yang bertentangan dengan prinsip partisipasi publik dalam kebijakan pemerintah.​
  • Tidak Ada Kompensasi: Ketiadaan kompensasi atau relokasi bagi warga terdampak dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak atas tempat tinggal yang layak.​
  • Perubahan Mendadak Batas Pembongkaran: Perubahan batas pembongkaran dari 5 meter menjadi 10 meter tanpa penjelasan yang memadai menimbulkan ketidakpastian hukum bagi warga.​

Oleh karena itu, meskipun tujuan penggusuran adalah untuk kepentingan umum, pelaksanaannya harus memperhatikan hak-hak warga dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Pemerintah sebaiknya menyediakan kompensasi atau relokasi yang layak bagi warga terdampak dan memastikan adanya musyawarah yang memadai sebelum pelaksanaan penggusuran.

Kesimpulannya penggusuran yang dilakukan di bantaran Kali Baru, Bekasi, meskipun didasari oleh tujuan yang sah—yakni untuk kepentingan umum dalam rangka normalisasi sungai—tetap menyisakan masalah serius terkait hak-hak dasar warga, prosedur penggusuran yang tidak transparan, serta kurangnya jaminan kompensasi atau relokasi.

Dalam hal ini, meskipun tindakan pemerintah secara hukum memiliki dasar, pelaksanaannya seharusnya lebih memperhatikan prinsip keadilan sosial, perlindungan hak atas tempat tinggal, serta kepastian hukum bagi warga yang terdampak. Pemerintah seharusnya menyediakan solusi yang lebih manusiawi, seperti memberikan opsi relokasi atau kompensasi yang layak kepada warga yang telah tinggal di lokasi tersebut untuk waktu yang lama.

Sebagai rekomendasi, pemerintah seharusnya mengevaluasi prosedur penggusuran, dengan memberikan musyawarah yang lebih terbuka dengan masyarakat, serta memastikan adanya kompensasi yang layak untuk mereka yang terdampak.

Hal ini akan memastikan bahwa penggusuran untuk kepentingan umum tidak menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan keadilan sosial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *