Analisis Peralihan (Tukar Guling) Hak Atas Tanah “Bekas Tanah Desa” di Dukuh Sepat, Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri Oleh Pemerintah Kota Surabaya Dalam Perspektif Hukum Dan Hak Asasi Manusia

Nurlita Katmas

Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Pamulang

Tanah kas desa (TKD) atau bondho deso merupakan salah satu bentuk hak kolektif masyarakat adat yang memiliki nilai historis, sosial, dan budaya yang sangat penting bagi komunitas lokal. Di Dukuh Sepat, Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya, tanah waduk seluas sekitar 60.000 m² yang termasuk dalam TKD menjadi bagian dari identitas dan kehidupan kolektif warga setempat. Tanah ini tidak hanya berfungsi sebagai sumber penghidupan, tetapi juga sebagai tempat pelaksanaan ritual adat yang mengikat solidaritas dan menjaga kelestarian budaya masyarakat Dukuh Sepat.

Namun, peralihan hak atas tanah waduk tersebut kepada pihak swasta, yakni PT. Ciputra Surya, Tbk., melalui mekanisme tukar guling yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya, menimbulkan konflik dan penolakan dari masyarakat setempat. Kasus ini mencerminkan persoalan klasik antara hak kolektif masyarakat adat yang dilindungi secara konstitusional dengan kebijakan pemerintah daerah yang seringkali mengabaikan aspek sosial dan budaya masyarakat lokal.

Dalam konteks hukum, kasus ini menimbulkan pertanyaan penting mengenai pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat, serta batas-batas kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola dan mengalihkan aset daerah yang menjadi milik bersama masyarakat. Oleh karena itu, pembahasan ini akan menguraikan dasar hukum yang digunakan pemerintah dalam melakukan tukar guling tanah waduk tersebut, serta pelanggaran hukum yang terjadi terhadap hak kolektif masyarakat Dukuh Sepat sebagaimana diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan terkait. Pembukaan ini memberikan gambaran umum yang jelas dan kontekstual untuk memulai analisis kasus tanah kas desa tersebut.

kasus  tanah kas desa (TKD) atau bondho deso yang merupakan hak kolektif masyarakat Dukuh Sepat, Kelurahan Lidah Kulon, Lakarsantri, Surabaya. Tanah tersebut berupa tanah waduk seluas sekitar 60.000 m2 terletak di wilayah RW 03 dan RW 05 Dukuh Sepat, Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya. Pemerintah Kota Surabaya telah melepaskan tanah tersebut kepada PT. Ciputra Surya, Tbk. dengan Surat Keputusan Walikota Surabaya No. 188.45/366/436.1.2/2008, atas persetujuan DPRD Kota Surabaya dengan Surat Keputusan No. 39 Tahun 2008 (data: penjelasan warga Dukuh Sepat). Tanah waduk warga Dukuh Sepat tersebut termasuk menjadi objek tukar guling yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya (saat Walikota Bambang D.H.) dengan PT. Ciputra Surya, Tbk. berdasarkan Perjanjian Bersama antara Pemerintah Kota Surabaya dengan PT. Ciputra Surya, Tbk. Nomor 593/2423/436.3.2/2009 / Nomor 031/SY/sm/LAND-CPS/VI-09, tanggal 4 Juni 2009. Warga Dukuh Sepat sejak semula menyatakan menolak peralihan hak atas tanah waduk tersebut.

Dasar Hukum Pemerintah Kota Surabaya Adapun dasar hukum yang digunakan oleh Pemerintah Kota Surabaya dalam melakukan tukar guling atas tanah waduk sepat adalah sebagai berikut :

  1. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
  2. Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang diubah dengan PP No. 38 Tahun 2008. Peraturan lainnya yang biasanya dijadikan dasar adalah:
  3. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 164 Tahun 1997.
  4. Surat Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Depdagri No 593/2023/PUOD tangggal 14 Juli 1999.
  5. Surat Gubernur Jawa Timur No 143/8272/013/1999 tanggal 27 Juli 1999)

Prof. Dr. Hj. Ida A. Brahmasari, seorang pakar hukum pertanahan, menyatakan bahwa tanah kas desa merupakan aset penting yang harus memberikan kesejahteraan bagi masyarakat desa dan dilindungi secara hukum agar tidak hilang atau disalahgunakan1. Ia menekankan perlunya pendaftaran tanah kas desa atas nama desa sebagai bentuk kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak kolektif masyarakat desa. Jika tanah kas desa dialihkan tanpa prosedur dan persetujuan yang benar, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum yang bahkan bisa masuk ranah tindak pidana korupsi Hukum Yang Dilanggar Pemerintah Kota Surabaya UUD 1945, Pasal 28 I ayat (3) yang menentukan: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Pemerintah Kota Surabaya telah melanggar hak masyarakat tradisional Dukuh Sepat di mana waduk Sepat merupakan pengikat solidaritas kehidupan kolektif mereka dan identitas budayanya sebab di waduk Sepat tersebut mereka biasa melakukan ritual bersih desa sejak wilayah tersebut menjadi desa hingga sekarang.

Undang-undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana diubah dengan Perppu No. 3 Tahun 2005 jo. UU No. 8 Tahun 2005 dan UU No. 12 Tahun 2008, pasal 201 ayat (2) menentukan: Dalam hal desa berubah statusnya menjadi kelurahan, kekayaannya menjadi kekayaan daerah dan dikelola oleh kelurahan yang bersangkutan. Pemerintah Kota Surabaya tidak memperhatikan atau melanggar hak kelola Kelola Kelurahan Lidah Kulon yang dalam hal ini pemegang haknya adalah warga Dukuh Sepat (sesuai dengan asal-usul pemegang haknya). Meskipun tanah waduk Sepat tersebut dapat dikategorikan “kekayaan daerah” namun eksistensi Hak Pengelolaan yang wajib diberikan kepada kelurahan tersebut tidak dapat dilanggar. Artinya, peralihan hak atas tanah bekas bondho deso termasuk dengan cara tukar guling tersebut harus dengan persetujuan pemegang Hak Pengelolaan yang seharusnya diberikan kepada Kelurahan.

PP No. 35 Tahun 2005 tentang Kelurahan, pasal 26 huruf d menentukan: Pembinaan teknis dan pengawasan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pasal 23 ayat (2) meliputi: …… d. mengawasi pengelolaan keuangan kelurahan dan pendayagunaan aset daerah yang dikelola oleh kelurahan. Berdasarkan ketentuan tersebut kewenangan Pemerintah Kota Surabaya terhadap tanah waduk Sepat adalah sebatas pengawasan pendayagunaannya yang dilakukan oleh Kelurahan Lidah Kulon. Tetapi dalam kenyataannya Pemerintah Kota Surabaya telah melakukan tirani hukum dengan cara mengalihkan hak atas tanah waduk Sepat tanpa persetujuan Kelurahan Lidah Kulon termasuk di dalamnya adalah komunitas warga Dukuh Sepat.

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM):

Pasal 36 ayat (1) dan (2) menentukan: (1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa,dan masyarakat, dengan cara yang tidak melanggar hukum. (2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dengan secara melawan hukum. Pemerintah Kota Surabaya telah menyalahgunakan kewenangan hukum dengan melanggar hak kolektif masyarakat Dukuh Sepat Kelurahan Lidah Kulon atas tanah waduk Sepat tersebut.

Pasal 44 menentukan: Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Kota Surabaya telah mengabaikan atau tidak memberikan hak berpendapat dan menyatakan usulan bagi warga Dukuh Sepat Kelurahan yang tidak menyetujui peralihan hak atas tanah waduk Sepat tersebut.

 

KESIMPULAN

Tukar guling atas tanah waduk Sepat yang merupakan tanah kekayaan kolektif warga Dukuh Sepat, Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya tersebut yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya dan PT. Ciputra Surya, Tbk, meskipun dengan persetujuan DPRD Kota Surabaya, adalah melanggar hukum, sehingga perjanjian tukar guling terhadap tanah tersebut batal demi hukum.

Pemerintah Kota Surabaya, DPRD Kota Surabaya dan PT. Ciputra Surya, Tbk telah melakukan pelanggaran HAM dengan melakukan perbuatan tukar guling tanah waduk Sepat tersebut. Hak yang dilanggar adalah hak masyarakat kolektif Dukuh Sepat, yakni:

  1. Hak atas kepemilikan hak bersama terhadap tanah waduk Sepat tersebut.
  2. Hak penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional.
  3. ak untuk mengajukan pendapat, usulan, permohonan dalam rangka untuk pelaksanaan pemerintahan yang baik, yakni agar Pemerintah Kota Surabaya tidak mengalihkan tanah waduk Sepat tersebut kepada pihak lain.

Dalam hal Pemerintah Kota Surabaya tidak memberikan solusi pengembalian Hak Pengelolaan atas tanah waduk sepat kepada warga Dukuh Sepat, Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya, maka warga Dukuh Sepat sebaiknya mengajukan uji materiil terhadap Pasal 201 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana diubah dengan Perppu No. 3 Tahun 2005 jo. UU No. 8 Tahun 2005 dan UU No. 12 Tahun 2008, pasal 201 ayat (2) menentukan: Dalam hal desa berubah statusnya menjadi kelurahan, kekayaannya menjadi kekayaan daerah dan dikelola oleh kelurahan yang bersangkutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *