Siti Wardah
Mahasiswa Fakultas Hukum (Universitas Pamulang)
Perdagangan Elektronik (e-commerce) merupakan kegiatan jual beli barang dan/atau jasa melalui jaringan elektronik yang seperti kita ketahui bersama seperti online shop, marketplace, online retail, dll. Saat ini yang sudah kita rasakan bersama telah terjadi peningkatan yang sangat signifikan dalam transaksi perdagangan elektronik yang merupakan perubahan bentuk dari transaksi tradisional dan dari segi aspek Perpajakan. Para Pelaku Perdagangan Elektronik sebagai penjual akan memperoleh penghasilan yang menjadi objek pajak penghasilan.
Pemerintah telah memberikan kepastian mengenai aturan perpajakan bagi para pelaku perdagangan elektronik yang di atur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-210/PMK.010/2018 tentang Perlakukan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce) yang telah diundangkan dan ditetapkan pada tanggal 31 Desember 2018 dan mulai diberlakukan pada tanggal 01 April 2019 yang bertujuan bahwa pelaku usaha e-commerce wajib dikenakan Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), selain itu juga pemerintah menghimpun info pelaku e-commerce melalui NPWP dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) agar keteraan perlakukan pajak antar sesama pelaku usaha baik pelaku usaha konvensional maupun pelaku usaha elektronik. Namun sebelum peraturan tersebut diberlakukan, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-31/PMK.010/2019 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-210/PMK.010/2018 tentang Perlakukan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce) yang ditetapkan, diundangkan dan diberlakukan pada tanggal 29 Maret 2019.
Pertimbangan pemerintah mengkhawatirkan adanya persepsi yang keliru dan tengah-tengah masyarakat mengenai adanya pengenaan jenis pajak baru dengan terbitnya PMK-210/PMK.010/2018 dan dikhawatirkan akan menimbulkan kepanikan di tengah-tengah masyarakat pelaku usaha perdagangan elektronik secara umum, khususnya para pedagang yang berjualan pada wadah penyedia pasar elektronik, yang secara kebetulan pemberlakuan ketentuan tersebut berada di tengah situasi kontestasi politik yang rawan menimbulkan kegaduhan dan penggirian opini yang dapat merugikan pemerintah, dan juga menjadi salah satu pertimbangan hambatan pemberlakuan PMK-210/PMK.010/2018 tentang Perlakukan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce) yakni kurangnya sosialisiasi yang dilakukan, khususnya kepada para pelaku usaha atau para penjual yang berjualan pada wadah penyedia pasar elektronik dan masyarakat pada umumnya. Hal ini berkaitan dengan pemahaman bahwa PMK-210/PMK.010/2018 bukanlah ditujukan sebagai pengenaan jenis pajak baru, tetapi demi kesetaraan perlakuan antara pelaku perdagangan konvensional dan pelaku perdagangan elektronik.
Pemerintah seolah-olah ragu dalam membuat dan mengeksekusi sebuah kebijakan, padahal dikacamata pihak pelaku usaha kebijakan tersebut tidak ada masalah didalamnya, bahwa di dalam PMK-210/PMK.010/2018 tersebut tidak ada objek pajak maupun wajib pajak baru. Ketentuan yang berada di PMK-210/PMK.010/2018 hanya mengatur mekanismen bahwa para pihak yang melakukan penjualan pada wadah pasar elektronik (penyedia platform marketplace) memilik kewajiban yang sama dalam membayar pajak, dan cukup disayangkan bahwa aturan yang mengatur mekanisme saja harus ditarik / dibatalkan sebelum diberlakukan PMK-210/PMK.010/2018 tersebut dan hal ini berpotensi kepada preseden yang tidak baik kepada pemerintah.
Agar tidak terulang diperlukan koordinasi dan sinergi lintas kementerian sebelum menerbitkan suatu kebijakan khususnya terkait perpajakan untuk para pelaku usaha perdagangan elektronik yang secara masif pun harus diberikan pemahaman secara masif kepada masyarakat luas .