Kasus Eksekusi Rumah Ade Jigo Oleh Pihak Pengadilan

Marsya Alma Mayza

Mahasiswa Fakultas Hukum (Universitas Pamulang)

Pada Februari 2024 silam, Ade Jigo bercerita ada oknum yang mau merebut rumah tanah milik keluarganya. Di atas tanah tersebut berdiri rumah orang tuanya dan beberapa rumah lain yang ditempati warga. Ade Jigo menjelaskan dirinya sudah menggugat balik oknum yang mengaku-ngaku soal kepemilikan tanah warisan keluarganya itu.

Personel grup musik Jigo itu heran pada tahun 1993 tiba-tiba ada oknum yang mengaku sebagai pemilik tanah keluarganya. Padahal, Ade Jigo mengaku mempunyai bukti dirinya memegang sertifikat tanah tersebut, bahkan Ade Jigo sendiri megang sertifikatnya, SKPT-nya, dan PBBnya pun lancar dan bahkan dia cek ke BPN pun sah dan tidak ada dalam gugatan, tidak ada dalam sengketa, namun saat itu Ade Jigo menang di pengadilan.

Namun pada tahun 2000 dan 2008 Martha Metty Nasiboe selaku penggugat dalam permohonan banding, Martha lagi-lagi menelan kekalahan, dan pada tahun 2022 Martha Metty Nasiboe baru memenangkan gugatan sebagai pemilik sah tanah setelah ahli warisnya mengajukan Peninjauan Kembali.

Menurut analisis saya, berdasarkan peristiwa di atas, sistem pendaftaran tanah di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan, seperti data yang tidak akurat. Hal ini memungkinkan terjadinya sengketa tanah dan memudahkan tindakan mafia tanah.

Ade Jigo memiliki dokumen atau bukti kepemilikan yang sah, maka pembongkaran rumah tersebut adalah sebuah tindakan illegal atau perbuatan yang melawan hukum, karena pembongkaran tersebut bersifat memaksa dan tidak di berikan negoisasi.

Ade Jigo seharusya berhak untuk menuntut ganti rugi atas kerusakan rumah tersebut melalui jalur hukum, dan ini diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang mengatur tentang tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.

Pada saat eksekusi rumah tersebut, pihak juru sita tidak memberikan atau menunjukkan surat eksekusi pengadilan tersebut ke Ade Jigo, dan ini melanggar ketentuan, yang dimana diatur dalam pasal 200 KUHPerdata, pasal ini mengatur tentang mengenai cara-cara pelaksanaan eksekusi. Ada beberapa kejanggalan tentang surat yang diberikan oleh pihak pengadilan, seperti : Surat SHM nya dengan nama yang di surat itu salah atau berbeda, RT nya berbeda, Sertifikat SHM nya Ade Jigo belum dibatalkan oleh pihak BPN, Kejanggalan tersebut bisa juga dikategorikan pemalsuan surat, dan ini diatur dalam pasal 263 KUHP yang mengatur tentang pemalsuan surat.

Dalam proses Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung, Ade Jigo tidak pernah mendapatkan info bahwa ada sidang, mereka hanya di berikan surat kemenangan Martha Metty Nasiboe di Mahkamah Agung pada putusan Peninjauan kembali nomor 682/PK/2022 dan pelanggaran ini diatur dalam pasal 120 HIR yang mengatur tentang proses panggilan dan kehadiran para pihak dalam persidangan. Yang sebelumnya juga perkara ini terdaftar dengan nomor 397/Pdt.G/1993, kemudian putusan Pengadilan tinggi nomor 115/Pdt.G/2000, serta putusan Mahkamah Agung nomor 1882/K/Pdt/2008.

Ade Jigo sendiri diperkenankan untuk mengajukan upaya hukum baru setelah permohonan keberatan tidak diterima hakim. Namun, tetap tidak ada jaminan bahwa hakim akan mengabulkan permohonan baru Ade Jigo Sistem pendaftaran tanah di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan, seperti data yang tidak akurat. Hal ini memungkinkan terjadinya sengketa tanah dan memudahkan mafia tanah.

Penegakkan hukum terhadap kasus mafia tanah seringkali lemah, karena kemungkinan adanya keterlibatan oknum aparat penegak hukum dalam kasus mafia tanah. Pemerintah harus lebih proaktif dalam mencegah dan memberantas mafia tanah dan meningkatkan kualitas pendaftaran tanah yang akurat dan up to date.

Referensi

https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20240704153126-234-1117616/ade-jigo-teguh-lawan eksekusi-pengadilan-di-tanah-warisan-orang-tua/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *