Potongan Komisi Perusahaan Aplikasi Ojek Online yang Tidak Sesuai dengan Perjanjian Kemitraan

Ahmad Firdaus

Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Pamulang

Pendahuluan

Opini hukum ini dibuat untuk memberikan pandangan hukum mengenai permasalahan yang dihadapi oleh mitra pengemudi ojek online (“Mitra Pengemudi”) terkait adanya dugaan pemotongan pendapatan oleh perusahaan penyedia aplikasi ojek online (“Aplikator”) yang tidak sesuai dengan ketentuan yang disepakati dalam perjanjian kemitraan.

  1. Asumsi Fakta

Opini ini didasarkan pada asumsi-asumsi berikut:

 * Terdapat hubungan hukum berupa kemitraan antara Aplikator dan Mitra Pengemudi yang didasarkan pada suatu perjanjian tertulis atau elektronik (“Perjanjian Kemitraan”).

 * Perjanjian Kemitraan tersebut mengatur mengenai skema bagi hasil atau komisi, termasuk persentase potongan yang dikenakan oleh Aplikator atas setiap transaksi/order yang diselesaikan oleh Mitra Pengemudi.

 * Mitra Pengemudi mendapati bahwa potongan yang dilakukan oleh Aplikator pada kenyataannya berbeda (lebih besar) dari yang telah disepakati dalam Perjanjian Kemitraan.

 * Perubahan skema potongan tersebut diduga dilakukan secara sepihak oleh Aplikator tanpa adanya persetujuan atau pemberitahuan yang layak kepada Mitra Pengemudi, atau bahkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

III. Permasalahan Hukum

Berdasarkan asumsi fakta di atas, permasalahan hukum utama yang dapat diidentifikasi adalah:

 * Apakah tindakan Aplikator melakukan pemotongan yang tidak sesuai dengan Perjanjian Kemitraan merupakan bentuk wanprestasi (pelanggaran kontrak)?

 * Apakah tindakan Aplikator tersebut melanggar peraturan perundang-undangan terkait transportasi online dan kemitraan?

 * Apa langkah hukum yang dapat ditempuh oleh Mitra Pengemudi?

  1. Analisis Hukum

 * Hubungan Kemitraan dan Kekuatan Mengikat Perjanjian

   * Hubungan antara Aplikator dan Mitra Pengemudi umumnya dikonstruksikan sebagai hubungan kemitraan, bukan hubungan kerja (majikan-buruh). Dasar hubungan ini adalah Perjanjian Kemitraan.

   * Menurut hukum perdata Indonesia, khususnya Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (pacta sunt servanda). Artinya, Aplikator dan Mitra Pengemudi terikat pada isi Perjanjian Kemitraan yang telah disepakati.

   * Pasal 1320 KUHPerdata mensyaratkan sahnya suatu perjanjian, termasuk adanya kesepakatan para pihak, kecakapan, suatu hal tertentu, dan sebab yang halal.

   * Jika Perjanjian Kemitraan secara jelas mengatur besaran persentase potongan (misalnya 15% atau 20%), maka Aplikator wajib mematuhi ketentuan tersebut. Melakukan potongan dengan persentase yang berbeda atau lebih besar dari yang disepakati, tanpa adanya adendum atau perubahan perjanjian yang disetujui kedua belah pihak, merupakan bentuk wanprestasi (cedera janji/pelanggaran kontrak) sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata.

 * Peraturan Perundang-undangan Terkait

   * Selain terikat pada Perjanjian Kemitraan, Aplikator juga wajib tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya yang dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terkait penyelenggaraan angkutan sewa khusus (termasuk ojek online).

   * Kemenhub secara berkala mengeluarkan peraturan (seringkali dalam bentuk Keputusan Menteri/KM) yang mengatur berbagai aspek operasional, termasuk batas maksimal biaya sewa penggunaan aplikasi (yang seringkali diterjemahkan sebagai potongan atau komisi). Misalnya, beberapa peraturan sebelumnya menetapkan batas maksimal potongan sebesar 15% atau 20%.

   * Jika potongan yang dilakukan Aplikator melebihi batas maksimal yang ditetapkan oleh peraturan Kemenhub yang berlaku, maka tindakan tersebut tidak hanya merupakan wanprestasi terhadap Mitra Pengemudi, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Perjanjian Kemitraan yang isinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dapat dianggap batal demi hukum pada bagian yang bertentangan tersebut (Pasal 1337 KUHPerdata mengenai sebab yang terlarang).

 * Asas Itikad Baik dan Kepatutan

   * Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Tindakan Aplikator mengubah skema potongan secara sepihak atau tanpa transparansi dapat dianggap melanggar asas itikad baik.

   * Dalam hubungan kemitraan, diharapkan ada keseimbangan dan keadilan. Pemotongan yang tidak wajar atau melebihi ketentuan dapat dianggap tidak patut.

  1. Akibat Hukum Wanprestasi dan Pelanggaran Peraturan

Jika Aplikator terbukti melakukan wanprestasi atau melanggar peraturan:

 * Ganti Rugi: Mitra Pengemudi berhak menuntut ganti rugi atas kerugian yang dideritanya akibat potongan yang berlebih tersebut (Pasal 1243 KUHPerdata). Kerugian ini dapat berupa selisih antara potongan yang seharusnya dengan potongan yang ternyata dilakukan.

 * Pemenuhan Perjanjian: Mitra Pengemudi dapat menuntut agar Aplikator melaksanakan kewajibannya sesuai dengan Perjanjian Kemitraan atau peraturan yang berlaku.

 * Pembatalan Perjanjian (Ultimum Remedium): Dalam kasus tertentu, wanprestasi dapat menjadi dasar untuk meminta pembatalan perjanjian, meskipun ini mungkin bukan opsi yang diinginkan Mitra Pengemudi.

 * Sanksi Administratif: Pelanggaran terhadap peraturan Kemenhub dapat mengakibatkan Aplikator dikenai sanksi administratif oleh pemerintah.

  1. Langkah Hukum yang Dapat Ditempuh Mitra Pengemudi

 * Verifikasi dan Dokumentasi: Kumpulkan semua bukti terkait, seperti salinan Perjanjian Kemitraan (termasuk syarat dan ketentuan/T&C yang berlaku saat bergabung), riwayat transaksi yang menunjukkan jumlah pendapatan kotor, jumlah potongan, dan jumlah bersih yang diterima. Bandingkan potongan aktual dengan yang tertera di perjanjian.

 * Komunikasi dengan Aplikator: Ajukan pertanyaan atau keluhan secara resmi kepada Aplikator (melalui fitur support, email, atau surat) untuk meminta klarifikasi mengenai dasar hukum dan perhitungan potongan yang dianggap tidak sesuai.

 * Somasi (Teguran Hukum): Jika komunikasi informal tidak membuahkan hasil, Mitra Pengemudi (secara individu atau kolektif, bisa didampingi kuasa hukum) dapat mengirimkan somasi kepada Aplikator. Somasi berisi teguran agar Aplikator mematuhi perjanjian dan/atau mengembalikan kelebihan potongan dalam jangka waktu tertentu.

 * Mediasi/Negosiasi: Upayakan penyelesaian melalui jalur musyawarah mufakat  pihak ketiga (misalnya Kemenhub atau lembaga mediasi independen).

 * Pelaporan ke Instansi Terkait: Laporkan dugaan pelanggaran ini kepada Kementerian Perhubungan (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat) sebagai regulator utama transportasi online. Jika ada dugaan praktik persaingan usaha tidak sehat (misalnya penyalahgunaan posisi dominan), bisa juga dipertimbangkan laporan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

 * Gugatan Perdata: Sebagai langkah terakhir jika upaya lain gagal, Mitra Pengemudi dapat mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri atas dasar wanprestasi untuk menuntut ganti rugi dan/atau pemenuhan perjanjian. Gugatan bisa diajukan secara individu atau melalui mekanisme class action jika banyak Mitra Pengemudi yang mengalami hal serupa.

VII. Kesimpulan dan Rekomendasi

Tindakan Aplikator melakukan pemotongan yang tidak sesuai dengan Perjanjian Kemitraan dan/atau melebihi batas yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah perbuatan yang melanggar hukum, baik secara perdata (wanprestasi) maupun administratif (pelanggaran peraturan Kemenhub).

Mitra Pengemudi memiliki hak hukum untuk meminta pertanggungjawaban Aplikator. Disarankan agar Mitra Pengemudi:

 * Mempelajari kembali isi Perjanjian Kemitraan yang telah disetujui.

 * Mengumpulkan bukti-bukti yang kuat.

 * Melakukan komunikasi formal dan terstruktur dengan Aplikator.

 * Mempertimbangkan untuk bersatu dengan Mitra Pengemudi lain yang mengalami masalah serupa untuk memperkuat posisi tawar.

 * Memanfaatkan jalur pelaporan ke regulator (Kemenhub).

 * Berkonsultasi lebih lanjut dengan advokat atau lembaga bantuan hukum jika ingin menempuh jalur hukum formal seperti somasi atau gugatan.

VIII. Penutup

Opini hukum ini bersifat umum berdasarkan asumsi fakta dan kerangka hukum yang relevan pada saat ini. Penerapannya pada kasus spesifik mungkin memerlukan analisis lebih mendalam terhadap fakta-fakta konkret dan dokumen Perjanjian Kemitraan yang bersangkutan.

Disclaimer: Opini hukum ini bukanlah nasihat hukum formal yang mengikat dan tidak menggantikan konsultasi langsung dengan profesional hukum (advokat) yang dapat menganalisis kasus secara spesifik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *