Penerapa Asas Kontradiktur Delimitasi Dalam Pendaftaran Tanah

Roy Budi Setiawan

Mahasiswa Fakultas Hukum (Universitas Pamulang)

Pendaftaran hak atas tanah adalah kegiatan pemerintah untuk menjamin kepastian hukum, dalam kegiatan Pendaftaran hak atas tanah harus dilengkapi dengan data yuridis dan data fisik. Dalam hal ini data yuridis yaitu mengumpulkan berbagai macam alat bukti kepemilikan diantaranya surat pelepasan, Letter C, akta tanah, dan sejenisnya. Sedangkan data fisik dalam hal ini meliputi kegiatan proses pengukuran, sebelum dilakukanya pengukuran pemohon perlu melakukan penetapan batas bidang tanah dengan menerapkan Asas Kontradiktur Delimitasi.

Asas Kontradiktur Delimitasi harus dilakukan secara maksimal supaya kegiatan pendaftaran tanah berjalan dengan lancar dan masyarakatpun merasa aman dan puas. Asas Kontradiktur Delimitasi di pertegas pada Pasal 17 sampai dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor. 24 Tahun 1997 Tentang Proses Pengukuran pada Pendaftaran Tanah yang menetapkan bahwa untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada pemegang hak ditetapkan terlebih dahulu kepastian hukum objeknya melalui penetapan batas bidang tanah. Penetapan data fisik atau penetapan batas pemilikan bidang tanah diatur dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor. 24 Tahun 1997 berdasarkan kesepakatan para pihak. Bila belum ada kesepakatan maka dilakukan penetapan batas sementara, yang diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor. 24 Tahun 1997.

Dengan diadakannya program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) turut mendukung penerapan asas Kontradiktur Delimitasi dikarenakan PTSL mengharuskan pengukuran tanah secara sistematis bukan secara sporadis sehingga setiap bidang tanah diharuskan memasang patok tanda batas agar memudahkan dalam kegiatan pengukuran. Saat ini Kementerian ATR/BPN membuat suatu program yaitu GEMAPATAS (Gerakan Masyarakat Pemasangan Tanda Batas) yang dilakukan untuk mempersiapkan program PTSL. Namun seharusnya program ini jangan sebagai pelengkap PTSL saja dan hanya diadakan di desa yang ada target PTSL saja melainkan GEMAPATAS dilakukan secara menyeluruh pada setiap bidang tanah di Indonesia dan dilakuakan secara serius oleh seluruh masyarakat. Pemasangan tanda batas juga harus disaksikan oleh Masyarakat yang berkepentingan entah itu dari pemilik tanah tersebut, tetangga batas maupun dari perangkat desa. Dengan terpasangnya patok tanda batas maka sudah sangat membantu terpenuhinya asas Kontradiktur Delimitasi.

Demikian pula pendaftaran tanah secara sporadis atau melalui loket di BPN Masyarakat juga harus betul-betul menguasai tanah yang akan di daftar  dan memasang patok tanda batas sebelum dilakukan pengukuran. Apabila pada saat pengukuran ada salah satu patok yang belum terpasang maka dari pihak BPN yakni petugas ukur jangan dulu melakukan pengukuran karena bisa saja belum terjadi kesepakatan dengan pemilik tanah yang bersebelahan.

Kemudian dari pihak perangkat desa juga seharusnya mempunyai inisiatif dengan melakukan pendataan pada setiap bidang tanah di desa tersebut, karena perangkat desa lah yang menjadi sumber informasi pertama dari petugas ukur dan sekaligus menjadi saksi dalam penetapan batas tanah. Perangkat desa juga harus merapihkan data pertanahan untuk mencegah kepemilikan ganda yang akan mengakibatkan sengketa pertanahan.

Tidak dipungkiri bahwa penerapan asas Kontradiktur Delimitasi tidak mudah dilaksanakan. Meskipun masalah kepemilikan atas tanah telah diatur dengan sedemikian rupa, namun masih saja terdapat permasalahan- permasalahan yang terjadi pada kenyataan dilapangan dalam penerapan asas Kontradiktur Delimitasi yang belum dapat berjalan dengan baik ada  beberapa kendala yang sering terjadi. Pertama, tumpang tindih atau overlapping batas bidang tanah sering tejadi akibat tidak jelasnya batas bidang tanah atau hilangnya batas bidang tanah. Kedua, adanya perselisihan internal antara pemilik tanah dengan para pemilik tanah yang berbatasan. Perselisihan ini mengakibatkan pihak yang berbatasan menolak untuk hadir pada saat pelaksanaan penetapan batas serta menolak menandatangani surat pernyataan batasan dan Daftar Isian 201 yang diperoleh dari Kantor Pertanahan. Dengan terjadinya penolakan tersebut proses pengukuran tidak dapat terlaksana dengan baik, karena tidak ditemukan kata sepakat antara kedua belah pihak. Ketidaksepakatan terhadap batas bidang tanah tersebut mengakibatkan proses pendaftaran tanah menjadi terhambat.

Pada kasus overlapping bisa saja terjadi karena beberapa sertipikat belum terpetakan terlebih lagi sertipikat tahun lama karena pada waktu itu belum ada komputerisasi kegiaatan pertanahan. Baru pada sekitar tahun 2003 kegiatan komputerisasi pertanahan mulai dilakukan. Maka dari itu BPN supaya berusaha keras untuk memetakan seluruh sertipikat lama yang belum terpetakan sehingga asas Kontradiktur Delimitasi dapat berjalan dengan lancar tanpa ada kendala.

Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa pemasangan patok tanda batas supaya dilakukan dengan serius dan melibatkan segala elemen yang berkompeten dan masyarakat supaya betul-betul menguasai tanahnya. Kantor Pertanahan juga harus terus melakukan upaya agar semua bidang tanah bisa terpetakan dengan baik. Dengan demikian maka kasus sengketa pertanahan bisa ditekan dan kepastian hukum pada bidang tanah bisa benar-benar dirasakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *