Peran BPN Dalam Sengketa Pertanahan Adakah Perbaikan atau Justru Menciptakan Hambatan

Melati Sukma Adinda Savitri

Mahasiswa Fakultas Hukum (Universitas Pamulang)

BPN adalah lembaga yang bertanggung jawab menyelenggarakan administrasi pertanahan di Indonesia, dan bertugas melakukan pendaftaran tanah, penerbitan sertifikat, dan penyelesaian sengketa pertanahan. Sejak dilaksanakannya berbagai reformasi pertanian yang dilakukan pemerintah, BPN diharapkan menjadi garda terdepan dalam penyelesaian sengketa pertanahan yang lebih cepat dan efisien.

Namun dalam praktiknya, peran BPN seringkali tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Birokrasi yang berlarut-larut, kurangnya transparansi dalam proses administrasi, dugaan korupsi di kalangan pejabat BPN merupakan hambatan serius dalam penyelesaian sengketa pertanahan, kesimpangsiuran dokumen pertanahan, duplikat klaim kepemilikan tanah, dan lambatnya proses verifikasi data serta permasalahan internal menghambat banyak kasus sengketa pertanahan. Hal ini terutama disebabkan oleh perbedaan data pertanahan yang dikelola  BPN. Pertentangan ini tidak hanya mempersulit penyelesaian sengketa pertanahan, namun juga menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang dirugikan akibat keputusan administratif yang tidak tepat.

Contoh kasus No. 1090/Pdt.G/2023/PN Tng Perkara ini merupakan sengketa kepemilikan tanah. Penggugat sebagai ahli waris melawan Tergugat I dan Tergugat II. Sengketa ini terjadi karena Penggugat mengklaim tanah milik almarhum Lim Teng Koan berdasarkan bukti kepemilikan berupa Girik dan dokumen lainnya, seperti Surat Keterangan Tanah. Penggugat merasa dirugikan karena Tergugat I menjual tanah tersebut kepada Tergugat II dengan menggunakan dokumen yang dianggap tidak sah. Akta Jual Beli (AJB) digunakan oleh Tergugat I untuk menjual tanah kepada Tergugat II, yang kemudian diterbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Tergugat II oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tangerang, yang dalam kasus ini menjadi Turut Tergugat III. Putusannya menegaskan bahwa tanah yang menjadi objek sengketa adalah sah milik Penggugat berdasarkan bukti yang ada, sedangkan tindakan jual beli yang dilakukan oleh Tergugat I dan II dianggap tidak sah menurut hukum.

Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), BPN berwenang melakukan pendaftaran tanah, pengukuran, dan penerbitan sertifikat sebagai bukti kepemilikan yang sah. Selain itu, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menjelaskan bahwa BPN bertanggung jawab dalam memastikan keabsahan sertifikat yang diterbitkannya. Dalam hal ini, BPN harus memverifikasi keabsahan data fisik dan yuridis dari tanah yang bersangkutan untuk menghindari tumpang tindih klaim kepemilikan. Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa setelah sertifikat diterbitkan, pihak yang merasa dirugikan harus mengajukan keberatan dalam waktu 5 tahun sejak sertifikat diterbitkan. Penggugat telah menempuh jalur hukum dan berhasil membuktikan bahwa sertifikat tersebut tidak sah. Tindakan BPN yang mengeluarkan SHM ganda menunjukkan adanya kelalaian administratif. BPN seharusnya melakukan verifikasi yang lebih mendalam sebelum menerbitkan sertifikat, terutama ketika ada bukti kepemilikan tanah yang sah dari pihak lain. Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian mewajibkan pihak yang bertanggung jawab memberikan ganti rugi. Dalam hal ini, kelalaian BPN dapat dikategorikan sebagai maladministrasi yang menyebabkan kerugian bagi Penggugat.

Untuk mencegah terulangnya masalah ini, BPN perlu meningkatkan sistem verifikasi dan manajemen data tanah. Sistem digital yang lebih terintegrasi seperti Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) perlu dioptimalkan untuk meminimalisasi terjadinya kesalahan administratif seperti penerbitan sertifikat ganda. Penggunaan teknologi dan pengetatan prosedur verifikasi akan membantu BPN menjalankan fungsinya dengan lebih baik dan mengurangi potensi sengketa di masa depan. Dengan demikian, BPN memiliki tanggung jawab hukum dalam memastikan setiap sertifikat tanah yang diterbitkan benar-benar sesuai dengan data yang ada dan tidak menyebabkan tumpang tindih klaim kepemilikan. Kasus ini menunjukkan bahwa perbaikan sistem pendaftaran tanah BPN sangat diperlukan untuk menghindari masalah serupa di kemudian hari.

Pengadilan telah berupaya untuk memperbaiki proses peradilan melalui penggunaan teknologi dan sistem yang lebih modern, namun permasalahan klasik seperti penundaan prosedur, kurangnya transparansi, dan dugaan keterlibatan mafia tanah  dalam sistem hukum masih tetap menjadi tantangan besar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *