Tanggung Gugat Bank dan Notaris dalam Kegagalan Serah Terima Sertifikat pada Kredit Properti: Telaah Putusan No. 50/Pdt.G/2024/PN Yyk

Rohmatus Soima

Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Pamulang

  1. Membahas Suatu Peristiwa Hukum

Peristiwa hukum yang menjadi fokus kajian ini berawal dari sengketa perdata antara Agus Nugroho sebagai penggugat melawan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Kantor Cabang Yogyakarta dan Sugiharto, S.H., seorang notaris dan PPAT, selaku para tergugat. Gugatan ini menyangkut kegagalan pemberian hak atas sertifikat apartemen yang dijadikan agunan kredit, meskipun penggugat telah menyelesaikan seluruh kewajiban kredit yang diberikan oleh pihak bank. Perkara ini terdaftar di Pengadilan Negeri Yogyakarta dengan nomor 50/Pdt.G/2024/PN Yyk.

Agus Nugroho membeli dua unit apartemen Malioboro Park View di Yogyakarta dengan tujuan digunakan oleh anaknya yang akan melanjutkan pendidikan di kota tersebut. Pembelian unit apartemen ini dilakukan melalui fasilitas Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) dari Bank BTN dengan agunan berupa apartemen yang dibiayai. Perjanjian kredit ditandatangani pada Januari 2018 dan pelunasan terakhir dilakukan pada Februari 2024. Namun, ketika penggugat hendak mengambil sertifikat atas unit yang telah lunas tersebut, bank menyatakan bahwa sertifikat belum tersedia karena developer telah dinyatakan pailit sejak tahun 2021.

Masalah semakin kompleks karena unit apartemen yang dibeli tidak pernah selesai dibangun. Developer, yaitu PT Malioboro Ensu Sejahtera, telah dinyatakan pailit dan proses pembangunan terhenti sejak tahun 2019. Dengan demikian, penggugat yang telah memenuhi kewajiban pembayaran penuh, tidak memperoleh manfaat atas objek perjanjian dan tidak memiliki dasar hukum atas kepemilikan unit.

Dalam gugatan, penggugat meminta agar Bank BTN dan Notaris dinyatakan telah melakukan wanprestasi serta diwajibkan mengganti kerugian sebesar total lebih dari Rp700 juta dari pihak bank dan lebih dari Rp30 juta dari pihak notaris.

  1. Analisis Normatif

Masalah hukum dalam perkara ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang siapa yang seharusnya bertanggung jawab ketika kredit properti lunas tetapi objek kredit tidak pernah diserahkan karena kendala pada pihak ketiga (developer).

KUH Perdata memberikan dasar normatif untuk menilai wanprestasi. Pasal 1243 KUH Perdata menyatakan:

> “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu…”

Dalam perkara ini, bank telah gagal memenuhi kewajiban menyerahkan sertifikat yang seharusnya dikembalikan kepada debitur setelah pelunasan. Kewajiban ini tercantum dalam perjanjian kredit dan merupakan bagian tak terpisahkan dari mekanisme KPA.

Selain itu, Pasal 1338 KUH Perdata menegaskan bahwa:

> “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Dengan demikian, pelaksanaan kewajiban dalam perjanjian tidak bisa dihindari, kecuali dalam kondisi force majeure yang dapat dibuktikan. Namun, kegagalan developer menyerahkan sertifikat seharusnya telah diantisipasi oleh bank melalui uji kelayakan proyek sebelum mencairkan kredit.

Dari perspektif hukum perlindungan konsumen, Pasal 4 huruf a UU No. 8 Tahun 1999 menyatakan:

> “Konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam menggunakan barang dan/atau jasa.”

Penggugat dalam hal ini berposisi sebagai konsumen jasa perbankan, dan telah menunjukkan iktikad baik dengan melunasi kewajibannya. Maka kegagalan memperoleh sertifikat sebagai bentuk manfaat dari produk perbankan dapat digolongkan sebagai pelanggaran terhadap prinsip perlindungan konsumen.

Sedangkan dalam konteks jabatan notaris, UU No. 2 Tahun 2014 menyebutkan bahwa:

> “Notaris wajib bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang berkepentingan dalam perbuatan hukum.”

Legalitas suatu akta notaris bukan hanya soal formalitas, tetapi juga tanggung jawab moral dan profesional untuk memastikan bahwa dokumen yang dilegalisasi tidak mengandung cacat hukum.

  1. Pendapat Hukum

Dalam pandangan penulis, pertanggungjawaban hukum tidak bisa dibatasi hanya pada pihak developer yang telah pailit. Bank sebagai lembaga keuangan yang membiayai properti yang belum selesai dibangun dan belum memiliki izin lengkap tetap harus bertanggung jawab. Tindakan pencairan kredit tanpa due diligence menyeluruh terhadap status legalitas proyek adalah bentuk kelalaian profesional dan pelanggaran prinsip kehati-hatian (prudential banking).

Satjipto Rahardjo menekankan bahwa:

 “Hukum harus berpihak pada realitas sosial dan tidak boleh tunduk pada teks semata.”

Dalam konteks ini, pihak yang paling lemah secara ekonomi dan informasi—yaitu konsumen atau debitur—harus diberikan perlindungan. Putusan yang menghukum bank menunjukkan bahwa pengadilan tidak hanya melihat hubungan kontraktual sempit, tetapi juga memperhatikan prinsip keadilan dan tanggung jawab sosial korporasi.

Sedangkan terkait notaris, R. Soeroso dalam Perjanjian dan Hukum Perjanjian mengingatkan:

 “Notaris bukan hanya pelengkap administrasi hukum, melainkan bagian dari sistem jaminan kepastian hukum.”

Artinya, ketika notaris melegalisasi akta yang melibatkan objek belum bersertifikat atau belum jelas status hukumnya, maka ia harus siap menanggung risiko hukum bila terjadi kerugian pada pihak lain.

Majelis Hakim dalam putusan ini dengan tepat menerapkan prinsip tanggung renteng. Bank dan notaris dinilai memiliki kontribusi terhadap kerugian yang diderita penggugat. Keputusan ini penting sebagai penegasan bahwa tanggung jawab dalam transaksi pembiayaan properti bersifat kolektif dan tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada konsumen.

Pengadilan Tinggi Jakarta dalam perkara No. 376/PDT/2021/PT.DKI menyatakan bahwa:

“Bank tidak dapat membebaskan diri dari tanggung jawab hanya karena telah melakukan pembiayaan atas dasar dokumen yang disediakan oleh developer, sebab bank wajib menilai dan memastikan keamanan objek jaminan sebelum pembiayaan diberikan.”

Sementara dalam perkara No. 69/Pdt.G/2020/PN.Bdg, hakim menilai bahwa “konsumen tidak dapat dibebani risiko hukum yang timbul dari kegagalan administratif bank dan mitranya,” memperkuat argumen bahwa tanggung jawab bank dalam transaksi kredit properti meluas pada perlindungan kepentingan konsumen.

Lebih lanjut, dalam konteks jabatan notaris, penting untuk membedakan bentuk kelalaian yang terjadi. Dalam perkara ini, notaris tampak lalai tidak hanya secara administratif, tetapi juga secara substantif karena memfasilitasi akta perjanjian pembiayaan atas objek yang belum memiliki legalitas lengkap (misalnya sertifikat induk belum terpecah atau izin prinsip belum lengkap).

Notaris seharusnya menerapkan prinsip kehati-hatian atau prudential duty, serta mengenali red flags saat objek yang akan dibebani hak tanggungan belum memenuhi syarat legal formal. UU Jabatan Notaris (UUJN) menggariskan bahwa:

“Notaris wajib bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang berkepentingan dalam perbuatan hukum.”

Dalam praktik, ini mengharuskan notaris tidak serta-merta membuat atau mengesahkan akta jika diketahui ada cacat hukum pada objek perjanjian. Pelanggaran terhadap prinsip ini dapat menimbulkan tanggung gugat profesional.

Satjipto Rahardjo menekankan:

 “Hukum harus berpihak pada realitas sosial dan tidak boleh tunduk pada teks semata.”

Dengan ini, pengadilan dalam perkara ini secara progresif menempatkan konsumen sebagai pihak yang paling lemah dalam relasi kontraktual dan karena itu perlu diproteksi oleh mekanisme hukum. Kontrak kredit properti seharusnya tidak hanya dipandang sebagai perikatan komersial, melainkan sebagai kontrak sosial yang mengandung nilai moral dan tanggung jawab antar pihak.

Untuk memperkuat pernyataan ini, data YLKI tahun 2022 mencatat bahwa sengketa properti akibat wanprestasi developer atau lembaga pembiayaan meningkat hampir 20% dibandingkan tahun sebelumnya, dengan mayoritas pengaduan terkait ketidaksesuaian janji serah terima dan absennya sertifikat hak milik. OJK sendiri dalam beberapa laporan tahunan menekankan bahwa industri perbankan wajib memperkuat sistem penilaian risiko terhadap proyek properti guna mencegah kerugian konsumen yang berulang.

  1. Penutup

Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 50/Pdt.G/2024/PN Yyk menjadi cerminan penting bagi penguatan perlindungan hukum dalam sektor pembiayaan perumahan. Ketika konsumen telah melaksanakan kewajiban dengan baik, maka negara melalui sistem peradilan wajib memastikan bahwa hak-haknya dipenuhi.

Ke depan, lembaga perbankan dituntut untuk lebih cermat dalam menyalurkan pembiayaan kepada proyek-proyek properti. Penilaian risiko tidak hanya sebatas pada kelayakan finansial debitur, tetapi juga pada legalitas dan progres fisik objek yang dibiayai. Notaris pun tidak dapat lagi berlindung di balik peran administratif jika diketahui bahwa akta yang dilegalisasi memiliki cacat hukum substansial.

Putusan ini menjadi preseden berharga bahwa kontrak kredit properti bukan hanya dokumen keuangan, melainkan juga kontrak sosial yang mencerminkan tanggung jawab hukum dan etika seluruh pihak yang terlibat. Ia juga mempertegas posisi konsumen sebagai subjek hukum yang dilindungi, bukan sekadar objek transaksi ekonomi.

Lebih jauh, kasus ini tidak berdiri sendiri. Fenomena serupa telah muncul di berbagai kota besar dan mencerminkan kegagalan sistemik dalam tata kelola pembiayaan properti. Oleh karena itu, diperlukan reformasi struktural—baik dari sisi regulasi perbankan, etika profesi notaris, hingga pengawasan terhadap pengembang. Tanpa pembenahan menyeluruh, kasus seperti ini akan terus terulang dan menempatkan konsumen pada posisi yang merugi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *