Muhammad Faiq
Mahasiswa Fakultas Hukum (Universitas Pamulang)
Para buruh dari PT Randugarut Plastik Indonesia mengadukan nasibnya kepada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Semarang, karena merasa telah dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak oleh perusahaan tempatnya mencari nafkah. Kegiatan audiensi ini diikuti dengan aksi unjuk rasa para buruh di depan kantor Disnaker Kota Semarang di Jalan Ki Mangunsarkoro.
‘Kami masih berharap agar jangan sampai terjadi PHK sepihak yang dilakukan oleh sebuah perusahaan. Kalaupun sampai terjadi tindakan PHK, sebaiknya bisa dilakukan melalui prosedur yang benar dan baik. Kami menganjurkan agar diambil jalan musyawarah mufakat terlebih dulu diantara buruh dan perusahaan,” ujar Kepala Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Semarang, Sutrisno, usai beraudiensi dengan para buruh tersebut, Kamis (7/7).
Dia menyebut, Disnaker Kota Semarang hanya memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi dengan perusahaan dan pendampingan kepada para buruh tersebut. Dirinya meminta pengusaha atau pemilik perusahaan PT Randugarut Plastic agar mereka menepati perjanjian kerja di awal.
Ketika ditanya berkaitan dengan dugaan pelanggaran yang dilakukan pihak pengusaha, Sutrisno mengatakan bukan wewenangnya memutuskan hal tersebut. Kewenangan pengawasan berada pada ranah di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Tengah.
“Kalau terkait dugaan adanya pelanggaran, yang memutuskan adalah Disnakertrans Provinsi Jateng. Mereka yang berhak menentukan apakah terjadi pelanggaran atau tidak yang dilakukan perusahaan, terkait PHK yang dilakukan kepada para buruh tersebut,” terang dia.
Sunandar pun menduga kalau tindakan PHK sepihak ini, mengindikasikan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan pengusaha.
Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK seringkali menjadi ketakutan dan keresahan terbesar bagi para pekerja. Keputusan PHK selalu berdampak buruk bagi kelangsungan kehidupan pekerja dan berimbas kepada kehidupan pekerja dan keluarga. Menurut Pasal 61 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Jo. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,
Aturan dalam melakukan PHK terhadap pekerja harus dilakukan sesuai dengan ketentuan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di dalam undang-undang ini dijelaskan, perusahaan tidak boleh melakukan PHK secara sepihak, melainkan harus adanya perundingan terlebih dahulu.
Hubungan kerja antara pengusaha/perusahaan dengan pekerja secara yuridis memiliki prinsip kebebasan, karena negara tidak menghendaki adanya praktik perbudakan yang dilakukan oleh siapapun. Oleh sebab itu, PHK tidak boleh dilakukan secara sepihak dan harus dilakukan melalui perundingan terlebih dahulu. Negara tidak menghendaki adanya praktik perbudakan yang silakukan oleh siapapun. Oleh sebab itu, PHK tidak boleh dilakukan secara sepihak dan harus dilakukan melalui perundingan terlebih dahulu.
Namun, apabila pengusaha tidak dapat menghindari PHK terhadap pekerja, maka pengusaha membuat surat pemberitahuan dan disampaikan secara sah dan patut oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan atau serikat pekerja/buruh paling lama 14 hari kerja sebelum PHK.
Bila PHK dilakukan dalam masa percobaan, surat pemberitahuan disampaikan paling lama 7 hari kerja sebelum PHK. Jika pengusaha dan pekerja menyepakati hasil PHK berdasarkan musyawarah mufakat, maka wajib didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri.
PHK massal di perusahaan ini memiliki dampak yang signifikan terhadap kondisi sosial dan ekonomi para karyawan serta komunitas sekitarnya. Secara sosial, PHK mengakibatkan hilangnya sumber pendapatan bagi banyak keluarga, yang berpotensi meningkatkan kemiskinan dan mengganggu stabilitas sosial. Karyawan yang terkena dampak mungkin mengalami stres, kehilangan identitas, dan ketidakpastian tentang masa depan mereka.
Dari perspektif ekonomi, PHK massal dapat mengurangi daya beli masyarakat, yang berdampak pada penurunan permintaan barang dan jasa di area tersebut. Ini juga dapat mengganggu perekonomian lokal dan meningkatkan angka pengangguran, serta mengurangi pendapatan pajak untuk pemerintah daerah. Jika tidak ditangani dengan baik, dampak ini bisa berkelanjutan dan menimbulkan masalah ekonomi yang lebih serius di masa depan.
Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah dari pemerintah dan perusahaan untuk memberikan dukungan kepada karyawan yang terkena PHK, seperti program pelatihan ulang dan bantuan sosial, agar dampak negatif dapat diminimalkan dan proses pemulihan ekonomi dapat berlangsung dengan lebih efektif.