Feiza Adinda NafisaTeguh
Mahasiswa Fakultas Hukum (Universitas Pamulang)
PENDAHULUAN
Tanah merupakan salah satu kekayaan alam yang memiliki fungsi ekonomis, fungsi sosial, dan fungsi produksi yang akan mendukung dan menyejahterakan kehidupan manusia melalui pemanfaatan, kepemilikan, dan pendayagunaan tanah. Dengan berbagai fungsi tersebut, negara bertanggung jawab untuk mengelolanya untuk kepentingan rakyat. Ini diatur dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 33 Ayat (3), yang berbunyi “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dasar konstitusi tersebut menjadi dasar pengaturan pertanahan setelah Indonesia merdeka yang diatur melalui UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai hukum pertanahan nasional.
Walaupun sudah ada UUPA, nyatanya masih banyak permasalahan tanah yang terjadi di Indonesia, salah satunya adalah masalah penyediaan tanah untuk kepentingan umum atau pembangunan nasional. Seringkali, program pembangunan nasional terhambat oleh masalah pengadaan atau pembebasan lahan. Tidak selalu mudah bagi negara untuk mendapatkan tanah untuk pembangunan, meskipun negara memiliki hak atas tanah menurut UUPA. Untuk mengurangi kesulitan pengadaan tanah untuk pembangunan nasional, pemerintah menggagas konsep Bank Tanah (Land Banking) secara yuridis dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dalam Bab VIII tentang Pengadaan Tanah, Pasal 125-135. Dan diatur lebih lanjut pemerintah mengeluarkan peraturan lebih lanjut tentang pelaksanaan Bank Tanah yaitu PP No. 64 Tahun 2021 Tentang Badan Bank Tanah.
PERMASALAHAN
Namun dengan adanya Bank Tanah ini, menimbulkan kontroversial karena banyak penolakan dari beberapa kelompok masyarakat khususnya para petani dan kelompok-kelompok Gerakan Reforma Agraria. Sebab Bank Tanah dibuat berdasarkan UU Cipta Kerja, yang dianggap inkonstitusional bersyarat setelah melalui uji formil Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, sebenarnya tidak boleh ada peraturan-peraturan turunan yang bersifat strategis yang merujuk kepada UU Cipta Kerja. Selain itu, menurut mereka, permasalahan sengketa tanah yang dirasakan masyarakat di antaranya kesulitan mendapatkan sertifikat hak milik tanah, ketimpangan kepemilikan tanah serta konflik-konflik agraria akan menjadi semakin riuh dengan kehadiran Bank Tanah.
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengatakan Bank Tanah memperkuat pengadaan tanah bagi kelompok bisnis dan pemodal, termasuk praktik monopoli dan negaraisasi tanah. Ini meningkatkan perbedaan penguasaan tanah antara masyarakat dan perusahaan dan negara. Sistem hak pengelolaan akan memperparah konflik agraria dengan menggunakan asas domein verklaring yang artinya menganggap tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya dianggap tidak ada penguasaan hak di atasnya, maka otomatis tanah negara.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Keberadaan perangkat hukum menjadi faktor pendukung terlaksananya Badan Bank Tanah. Perangkat hukum harus mampu diformulasikan untuk mencapai tujuan hukum dimana menurut Gustav Radburch terdapat 3 (tiga) nilai dasar atau cita hukum, yaitu: (1) Kepastian Hukum (Rechtssicherheit); (2) Keadilan (Gerechtigkeit); dan (3) Kemanfaatan Hukum (Zweckmassigkeit). Nilai kepastian hukum dalam pengaturan Bank Tanah memberikan kewajiban bagi negara untuk membentuk hukum dalam wujud peraturan perundang-undangan yang secara khusus dan komprehensif mengatur pelaksanaan Bank Tanah di Indonesia.
Ditinjau dari fungsi pembentukan Bank Tanah ini, jika dibentuk untuk pengadaan tanah bagi kepentingan umum, sebelumnya sudah ada PP No. 19 Tahun 2021 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum yang memberi wewenang kepada negara untuk mengambil hak atas tanah warga negara melalui mekanisme ganti rugi yang ditujukan bagi pembangunan untuk kepentingan umum didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah dan prioritas pembangunan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, Rencana Kerja Pemerintah/Instansi yang bersangkutan. Negara tidak dapat menyimpan tanah untuk pembangunan di masa depan karena PP No. 19 Tahun 2021 tidak memungkinkannya. Akibatnya, pencadangan tersebut bergantung pada proyek yang akan dilakukan. Atas dasar hal tersebut juga, Bank Tanah didirikan sebagai badan hukum yang mewakili negara untuk menyimpan tanah untuk kebutuhan negara.
Pasal 129 UU Cipta Kerja mengatur bahwa Bank Tanah diberikan hak pengelolaan yang dapat diberi HGU, HGB, dan HP. Dalam UUPA pasal 28 Ayat (1) disebutkan bahwa HGU merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa HGU hanya dapat diberikan secara langsung oleh negara bukan oleh Bank Tanah yang dilimpahkan kewenangan oleh negara untuk memberikan HGU. Sementara itu, Pasal 40 PP Badan Bank Tanah menyatakan bahwa penyerahan hak atas tanah dapat dilakukan dengan perjanjian dan dapat dibebani dengan hak tanggungan. Dengan perjanjian, jangka waktu pemanfaatan lahan dapat diperpanjang sesuai dengan kesepakatan para pihak sebagaimana diatur dalam hukum perdata, yang akan bertentangan dengan UUPA yang memberikan jangka waktu hak atas tanah.
Kewenangan yang diberikan oleh UU Cipta Kerja kepada Bank Tanah menimbulkan kekhawatiran bahwa Badan Bank Tanah tidak akan menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan secara jujur dan amanah, terutama mengingat dominasi oknum makelar tanah, pungutan liar dalam proses perizinan, dan kemungkinan pejabat tanah memenuhi kepentingan pemilik modal dengan cara merugikan rakyat demi kepentingan nasional. Di sisi lain, Bank Tanah yang menawarkan tanah untuk mendukung reforma agraria dianggap tidak sejalan dengan tujuan reforma agraria yang seharusnya mengurangi ketimpangan kepemilikan tanah dan memberikan akses luas kepada masyarakat ekonomi lemah, sehingga hak pengelolaan lahan yang diberikan pada Bank Tanah dinilai mirip dengan prinsip tanah partikelir era penjajahan Belanda yang berpotensi menghilangkan prinsip-prinsip land reform dalam UUPA, sehingga pembentukan Bank Tanah perlu memenuhi kebutuhan untuk mengimbangi pengadaan tanah bagi kepentingan nasional dan reforma agraria agar rakyat kecil dapat memanfaatkan tanah negara secara efektif.
KESIMPULAN
Secara umum, fungsi, tujuan, sumber kekayaan, struktur kelembagaan, dan status hak atas tanah yang dapat diberikan kepada Bank Tanah diatur dalam UU Cipta Kerja. Namun, Pasal 125 hingga 135 UU Cipta Kerja dan PP Badan Bank Tanah masih terlalu ambigu dan multitafsir yang dapat menyebabkan penyimpangan kekuasaan dan merusak hak masyarakat kecil pemilik tanah. Kedudukan dan fungsi Bank Tanah sangat penting untuk pembangunan. Namun, organisasi, otoritas, dan kekayaan bank tanah sangat tidak jelas. Ketentuan Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja masih harus dievaluasi karena menyimpang dari konsep hukum pertanahan yang telah ditetapkan dalam UUPA sebelumnya.
SARAN
Pemerintah diharapkan dapat merevisi kembali terhadap pengaturan Bank Tanah dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan PP No. 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah secara komprehensif, sistematik, dan partisipatif khususnya terkait dengan bentuk badan hukum yang digunakan, mekanisme pengawasan, serta permasalahan tumpang tindih kewenangan mengingat beberapa ketentuan yang masih kurang jelas dan tidak lengkap yang dapat menimbulkan potensi penindasan hak-hak rakyat alih-alih mewujudkan kesejahteraan rakyat.
REFERENSI
- Sanjaya, D. & Djaja. B. (2021). Pengaturan Bank Tanah Dalam Undang-Undang Cipta Kerja Dan Implikasi Keberadaan Bank Tanah Terhadap Hukum Pertanian Indonesia. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni, 5(2), 462-474
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 245 Tahun 2020, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573).
- Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Indonesia.
- Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah. Indonesia.
- https://www.hukumonline.com/berita/a/8-ancaman-pp-bank-tanah-terhadap-reforma-agraria-lt60abb177a188a/ Diakses 20 September 2024